cangpanah

Tentang Kontroversi 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh

MUSTAFA ISMAIL | @musismail |

Peluncuran buku “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” di PDS HB Jassin, Jumat, 3 Januari 2014 lalu telah menimbulkan berbagai respon dari kalangang peminat dan pegiat sastra. Mereka dipilih oleh kurator yang dinamakan Tim 8, yakni Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.

Sebanyak 33 tokoh terpilih itu adalah Kwee Tek Hoay, Marah Rusli, Muhammad Yamin, HAMKA, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Rendra, NH Dini, Sapardi Djoko Damono.

Selain itu ada Arief Budiman, Arifin C Noer, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Remy Silado, Abdul HAdi WM, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Denny JA, Wowok Hesti Prabowo, Ayu Utami, dan Helvy Tiana Rosa.

Masuknya nama Denny JA membuat sebagian orang kaget, termasuk saya. Benar, pemilihan apa pun memang selalu menimbulkan kontroversi. Namun, dalam kasus ini, saya betul-betul tak habis pikir: bagaimana bisa baru kemarin nulis puisi lalu membukukan dengan nama puisi esai bisa menjadi salah satu dari 33 tokoh paling berpengaruh dalam 100 tahun terakhir.

Padahal apa yang dilakukan Denny bukanlah hal baru. Puisi “Pengakuan Pariyem” Linus Suryadi AG dan puisi-puisi Rendra apa bukan jenis puisi demikian — meskipun mereka tidak membubuhkan catatan kaki. Tapi kekuatan puisi bukanlah di catatan kaki itu, tapi sejauh mana ia bisa membetot konsentrasi dan kenikmatan pembaca. Selain itu, tentu saja aspek-aspek teknis “puitikal” sudah harus selesai, bahkan menawarkan kebaruan. Nah puisi Denny, aspek puitikal saja masih perlu dibereskan.

Tapi kembali ke soal kurasi tadi, ada hal yang menurut saya tidak gamblang di sana. Memang, tim kurator menyebutkan kriteria penilaian (saya kutip dari infosastra.com) seperti pengaruhnya berskala nasional; pengaruhnya relatif berkesinambungan; menepati posisi kunci, penting dan menentukan; dan menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang melahirkan pengikut, penentang dan melahirkan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Tapi tim kurator tidak mempublikasikan secara luas metodelogi. Minimal, belum ada di antara anggota tim itu yang menulis demi menjawab “pertanyaan” sebagian kalangan pegiat sastra ini. Tulisan Maman S Mahayana yang diposting di facebok belum menjawab itu. Jadi, para “penggugat” — sebut saja begitu — tidak memperoleh jawaban yang cukup.

Kita tahu, hasil sebuah riset dan kurasi sangat ditentukan oleh metodelogi. Saya kasih contoh betapa metodelogi mempengaruhi hasil. Beberapa waktu lalu, sebuah lembaga survei melakukan jajak pendapat tentang calon presiden. Yang mereka ambil adalah calon presiden dari kalangan pemimpin partai. Maka Jokowi — yang banyak memenangkan survei — tidak masuk sebagai pemenang di sana.

Selain metodelogi, tentu saja yang harus dibuka adalah siapa penyandang dana survei itu. Dalam politik, siapa yang memesan survei, sudah pasti ia ingin ditempatkan di posisi paling tinggi. Maka itu, penyandang dana survei bisa “memesan” metodelogi agar ia menang atau masuk hitungan.

Maka itu, dalam konteks kurasi atau penjurian 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu jelaslah metodelogi dan siapa funding proyek itu perlu dibuka ke publik. Supaya publik bisa menilai: apakah hasilnya layak dijadikan rujukan atau pun hanya sebagai angin lalu.

Depok, 5 Januari 2013.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: