Rumah Dekat Laut
rumah yang kau datangi itu, yang menulis riwayatku, riwayat kata-kata, pagi itu salah satu dindingnya ambruk juga: kerlap-kerlip alue dama seperti kunang-kunang beterbangan ke udara
rumah yang kau datangi itu, yang menulis riwayatku, riwayat kata-kata, pagi itu salah satu dindingnya ambruk juga: kerlap-kerlip alue dama seperti kunang-kunang beterbangan ke udara
dari sebiji padi kita menjelma pagi, sepotong sajak dan secangkir kopi – tumpah di tepi “kau pasti lupa pada pulot, timphan dan seudati.” aku selalu membenci mulutmu yang sebiru mataku meruapkan aroma Seulawah dengan rumah tua di pucuknya dan kau pernah berpose di sana sambil membayangkan:
… maka hanyutlah sekeping emas terbawa deras arus. tambang mana mesti kembali aku mencarinya. atau kubiarkan saja kereta pagi lewat dan menggilasku. dalam tidur panjang
Aslinya, sesuai ketikan di bundel “Perjalanan” (Sajak-sajak Mustafa Ismail 1990-1992″ puisi ini berjudul “Ketika Tubuh Digayut Sakit”. Tapi, entah kapan, judul puisi itu kemudian saya coret dengan ballpoin dan di atasnya saya tulis kata “Miskin” sebagai judul baru — dengan huruf kapital. Puisi yang lahir pada 1991 ini saya ketik ulang seperti aslinya di bundel itu.
sia-sia. matahari bergulir bagai desing peluru membentangkan padang-padang tandus. laut mana kucari tersimpan mimpi-mimpiku. pada langit hanya membersit jalan.
Selalu Ada Luka adalah puisi yang saya tulis dalam perjalanan Jakarta-Pekanbaru, pada 23 Agustus 2006. Kala itu, saya hadir untuk sebuah event budaya di Teluk Kuantan, yakni Pacu Jalur. Jalur, dalam bahasa setempat adalah perahu. Jadi pacu jalur sebetulnya adalah lomba perahu. Namun, puisi ini bukan soal pacu jalur. Tentang apa? Mari simak saja.
Pada 1995, sebuah pertemuan penyair diadakan di Solo, tepatnya di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. Nama acaranya, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka. Acara itu melibatkan para penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah nama besar juga hadir, ada KH Mustofa Bisri, Rendra, Ken Zuraida, Ratna Riantiarno, Ratna Sarumpaet dan sebagainya. Salah satu penggerak utama kegiatan itu adalah Murtidjono, Kepala Taman […]
Tuan, tadi sore seseorang menelpon dan mengaku sebagai tuan. Tentu saja saya tak percaya karena saya melihat tuan sedang tidur siang di sebuah kubangan.
Kampung dan kota, apa bedanya? Teknologi informasi membuat batas-batas desa dan kota semakin tipis, bahkan tak berbatas lagi. Saat sebuah peristiwa terjadi di satu sudut dunia dalam sekejab informasinya menyebar ke seluruh sudut dunia lain. Tak hanya dalam bentuk teks, tapi dalam bentuk multimedi: foto, video dan suara.
Sosok yang saya ditulis dalam puisi ini sangat unik. Teman-teman penyair di Aceh menyebutnya “Presiden”. Lengkapnya adalah “Presiden Rex”. Ini tak lain adalah sebutan Kompas ketika menulis profilnya panjang lebar pada 1990-an. Rex, yang berlokasi di Peunayong, Banda Aceh, adalah pusat jajan penting di Aceh.
Anak kecil yang baru belajar karate, tiang listrik pun diajak berkelahi. Kata-kata ini sering saya lontarkan — secara guyonan tentu saja — merespon orang-orang yang senang memancing diskusi tak produktif di media sosial. Biasanya orang seperti ini baru belajar sesuatu. Lalu, ia asyik mengkritik atau menggurui sana-sini, termasuk memancing debat tak penting. Bahkan terkesan ia sedang mencari perhatian.
Jika Anda ke Aceh, tak lengkap jika tidak ke Sabang. Sabang, yang terletak di Pulau Weh, adalah salah satu destinasi wisata yang indah. Pulau kecil itu berada di tengah laut. Tentu, utuk mencapainya Anda harus menggunakan kapal. Perjalanan dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, ke Sabang, memakan waktu sekitar dua jam dengan menggunakan kapal biasa. Tiketnya dulu Rp.30.000 (kelas ekonomi). […]
Saya tak ingat kapan puisi ini saya tulis, dugaan saya pada akhir 1990-an atau awal 2000-an. Saya tak sengaja menemukan filenya di komputer ketika membaca-baca tulisan lama. Saya belum berniat untuk memperbaikinya — agar layak dikirimkan ke koran misalnya. Saya posting saja dulu di sini seperti aslinya.
Tahun lalu, kawan-kawan di Ruang Sastra menggagas untuk membuat buku puisi tentang tragedi kekerasan di Myanmar, yang membuat banyak warga Rohingya harus mengungsi ke luar dari negeri itu. Buku itu menghimpun karya para penyair dari seluruh Indonesia. Selain itu, berbagai buku terbit sebagai tanda simpati untuk pengungsi Rohingya. Selain yang digagas oleh Ruang Sastra, ada pula buku bertema lebih luas […]