
Rencana Menikmati Kop Aceh Batal, Justru ke Semaan Puisi
NIATNYA kami (saya, Dedy Tri Riyadi dan Hilmi Faiq) mau ngopi di sebuah warung kopi Aceh di samping kampus baru Universitas Pamulang (Unpam) hari itu, Kamis. Medan Corner, namanya. Kami sudah sepakat bertemu di sana pukul 17.00. Tapi rencana itu mendadak batal. Mengapa?
Begini ceritanya. Kamis siang saya meneruskan poster acara Semaan Puisi ke GWA Ruang Sastra. Di tengah percakapan, Dedy menyahut: “Apa bukber kita bergeser ke sini saja bang?” Aku spontan menjawab — gaya anak zaman sekarang: oke, gas.
Dedy kembali menyahut, “Oke bang, aku sampaikan ke mas Hilmi.” Hilmi masih berada di kantornya (Kompas) di Palmerah — ia adalah redaktur budaya koran itu, selain menulis puisi, cerpen, dan esai.
Akhirnya kami pun bertemu di Smiljan Coffee – yang tak hanya cafe, tapi digabungkan toko buku, perpustakaan, dan ruang kreatif. Di sana kerap digelar acara seni, komunitas, dan pameran — bahkan kemarin masih ada pemeran lukisan berlangsung. Dinding-dinding ruangan menjadi ruang pamer.
Selain itu ada ruang semi outdor yang cocok betul untuk pertemuan kecil — diskusi, peluncuran buku — salah satunya semaan puisi Kamis kemarin. Kafe dengan bagunan konsep indusrial itu tak begitu luas — sekitar 150 meter persegi, tapi cukup nyaman dan bikin betah.
“Semua ruang di sini bisa dipakai untuk kegiatan seni dan komunitas,” kata bos kafe itu, Kibo — panggilan penggemar seni bernama panjang Rahmat Indrani — yang juga peserta aktif Semaan Puisi. Kalau tak ada yang merokok lebih lega bikin acara di area utama – berbaur dengan pengunjung.
Apa tak mengganggu pengunjung kafe? “Tidak. Justru mereka dapat sesuatu yang berbeda.” Ia menambahkan penulis bisa pula menitip jual buku di kafe itu. Tapi kemarin saya hanya bawa tiga buku – satu di antaranya saya titip di perpustakaan kafe itu.
Rupanya kafe itu selemparan batu dari rumah Dedy dan Hilmi. “Aku sering ngopi sambil nulis di sini bang. Rumahku sekitar 500 meter dari sini,” kata Hiimi yang baru saja meluncurkan novelnya Gemuruh.
Cuma awalnyq saya bingung parkir — di depan kafe penuh sepeda motor. Rupanya sebelah kafe ada taman jajan dengan area parkir luas. Jadi pengunjung yang bawa mobil bisa parkir di sana.
Semaan yang dikomandani Mahwi Air Tawar dan Angin Kamajaya itu dimulai pukul 16.30 — sesuai jadwal. Saya tiba terlambat sekitar 30 menit – jalanan dari Pamulang ke Jalan Merpati II Sawah Baru Ciputat itu lumayan padat sore itu. Di salah satu pertigaan kendaraan seperti terhenti.
Proses Semaan — seperti biasa — didahului pengantar oleh Angin Kamajaya mempekenalkan penyair yang jadi topik bahasan. Lalu peserta satu persatu membaca puisi dari tempat duduknya masing-masing. Mirip tadarusan. Ada banyak puisi dibacakan sore itu — yang dikumpulkan dalam 30 halaman ketik.
Tapi saya memilih format digital (pdf) karena bisa dizoom sehingga lebih nyaman dibaca. Adapun kertas kan gak bisa diperbesar hurufnya. Permbacaan puisi berlangsung kusyuk, meskipun sesekali diselingi guyon. Dan sebelum jadwal berbuka baca puisi itu kelar.
Kafe menyediakan takjil berbuka cukup berlimpah secara cuma-cuma unruk acara ini. Sebagian peserta ke masjid sekitar 50 meter dari kafe dan berbuka dengan makanan berat di sana. Sebagian peserta pesan menu lain di kasir. Saya memesan kopi susu latte — yang lumayan pas di lidah.
Sekitar pukul 19.30 semua berkumpul kembali di ruang itu. Kini giliran sesi acara lainnya: Malam Puisi Tangerang yang dikomandani Andy Lesmana dann Beni Satria. Lagi-lagi kami membaca puisi secara bergantian. Usai baca puisi dilanjutkan obrolan ringan sampai karyawan kafe memberi kabar kafe mau tutup.
Jam memang telah menunjukkan pukul 22.00. Kafe telah sepi. Karyawan sedang beres-beres.
MI 07032025