Sensus Penyair dan Puisi Konyol
Sungguh, saya agak geli membaca puisi berjudul “Sensus Penyair” ini. Puisi yang saya tulis pada Desember 1991 itu rada-rada “gimana”. Puisi ini bagian dari bundel puisi saya berjudul “Perjalan” dengan ketikan mensin ketik — yang tentu saja tidak ada file softcopynya. Maka itu, puisi ini saya ketik ulang sebagaimana adanya.
Namun satu hal: lewat puisi ini ternyata — mungkin ini di bawah sadar — saya baru tahu pernah punya keinginan untuk “hijrah” ke Jakarta. Kesempatan itu baru terwujud pada November 1996, ketika saya diundang menjadi peserta pertemuan penyair muda Indonesia, Mimbar Penyair Abad 21, yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki.
Sekilas, keinginan untuk “merantau ke Ibu Kota/akan kubangun rumah yang indah di sana, dekat rumah/rendra sutardji atau ….. tentunya!” itu agak konyol juga. Sebab, pada saat itu saya belum pernah sekali pun ke Jakarta. Membayangkan pun saja tidak. Tapi, ternyata “Alam Semesta” mendengar keinginan itu dan mendukungnya.
Maka itu, saya makin percaya, niat positif akan melahirkan energi positif dan alam semesta raya akan mendukungnya. Tuhan Maha Besar.
SENSUS PENYAIR
sampai saat ini berapa tapak sepatu sudah aus,
berapa puisi sudah tercipta, berapa dimuat dan
berapa tidak
aku menghitung kembali jejak kakiku di rerumputan
aku mengingat kembali jejak kakiku di bebatuan
aku mengumpul kembali jejak kakiku di pasir pantai
aku mengutip kembali jejak kakiku di jalas aspal
kuhitung juga kesadaran dan ketidaksadaran,
pengertian-ketidakpengertian, kejujuran dan
ketakjujuran
setelah aku mengakumulasi semuanya, betapa
aku menemukan diriku masih di ruang yang sama
berhadapan dengan orang dan suasana itu-itu
pula. O, aku ingin merantau ke Ibu Kota
akan kubangun rumah yang indah di sana, dekat rumah
rendra sutardji atau ….. tentunya!
31 des 91
trg
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | MUSISMAIL.COM
>FOTO UTAMA: Pixabay.com