Hoax Merajelala, Seniman di Mana?
Dua hari lalu, tepatnya Rabu pagi, perupa Jeffrey Sumampouw mengirim pesan mesanger di aplikasi WhatsApp. Isinya mengajak saya menjadi salah satu narasumber diskusi tentang seni di *Marto Artcentre di Jalan Pondok Labu 1 No 8 B, Jakarta Selatan*. Tema diskusi adalah “Hoax Merajalela, Seni Ada di Mana?” Diskusi itu diadakan pada Sabtu, 2 Februari 2019 pukul 15.00-18.00. Narasumber lain adalah Weye Haryanto, perupa yang juga pengamat seni.
Saya, tentu saja, menyambut ajakan itu. Sebelumnya, beberapa pekan lalu, kami memang pernah berdiskusi soal ini secara terbatas di Marto. Tema hoax memang sangat kontekstual dengan situasi terkini. Hoax lahir untuk menyingkirkan, bahkan memutarbalikkan fakta. Celakanya, sebagian masyarakat belum bisa membedakan mana hoax dan mana bukan. Sehingga ketika berhadapan dengan sebuah informasi, tanpa memverifikasinya mereka langsung membagi kepada orang lain lewat media sosial maupun pesan pribadi.
Persoalannya, di mana posisi seniman di tengah hoax itu? Perlukah seniman terjun langsung? Bagaimana ia harus bersikap sekaligus berkarya. Aneka pertanyaan bisa dialamatkan untuk merespon hal tersebut. Dan pertanyaan-pertanyaan itu akan lebih tajam dalam diskusi nanti. Saya akan membahas bagaimana hoax juga berkembang secara tradisional dalam masyarakat kita dan kemudian menjadi “kearifan lokal” yang turun-temurun. Jadi hoax tidak hanya menyerang dalam ranah politik, tapi juga dalam kehidupan sosial.
Kegiatan ini sebetulnya bagian dari pameran sehari, sekali lagi hanya sehari — bahasa Acehnya one day — dua perupa sahabat saya: Jeffrey Sumampouw dan Puguh Warudju. Pameran akan dibuka pada pagi hari, Sabtu, 2 Januari 2019 pukul 08.00, dilanjutkan dengan berbagai acara lain, termasuk lelang karya pengumpulan dana untuk disumbangkan kepada masyarakat yang selamat dari bencana. Setelah diskusi, pada Sabtu malam ada beragam acara, seperti baca puisi, musik, standup comedy, dan lain-lain.
Marto Artcentre adalah komunitas seni yang dikelola oleh Jeffrey, Puguh, dan kawan-kawan sebagai ruang kreatif. Para pendirinya memang perupa, namun ruang ini terbuka bagi seniman apa saja. “Jika ada kawan-kawan yang mau meluncurkan buku, baca puisi, diskusi sastra, teater, silakan di sini,” ujar Jeffrey ketika saya main ke sana pada suatu kali. Tiap akhir pekan, Marto mengadakan kelas senirupa hingga membatik. Mereka juga rutin mengadakan pameran.
>Jeffrey Sumampouw, Mustafa Ismail, Puguh Warudju, Sihar Ramses Simatupang dan Asrizal Nur
Lokasi Marto sangat mudah dijangkau. Jika Anda naik kereta (jurusan Jakarta-Bogor), turunlah Stasiun Tanjungbarat, Jakarta Selatan. Dari sana, Anda bisa naik ojek online dengan ongkos tak sampai Rp 15.000. Jika naik angkutan umum, dari arah Taman Ismail Marzuki (TIM), misalnya, turunlah di perempatan Rumah Sakit Fatmawati. Dari sana, Anda bisa naik ojek online mungkin dengan ongkos Rp 5.000. Jika senang olah raga, mungkin dengan berjalana kaki 15 menit sudah sampai. Jalan Pondok Labu 1 berada di antara RS Fatmawati dan Pasar Pondok. Kalau masih “gelap”, kontaklah pengelola MartoArt di nomor 081288390820.
Mari ngopi-ngopi di sana. Ajak teman-teman lain juga. Kami tunggu ya.
MI