Mulutmu Harimaumu
Dulu, ketika saya kecil — saat sekolah dasar — saya tak sadar bertanya sesuatu yang menyinggung perasaan kakak sepupu saya. Kala itu, ia bersekolah di SMA Negeri Trienggadeng. Karena rumah saya hanya berjarak empat ratus meter dari sekolah tersebut, maka ia tinggal di rumah kami. Rumah orang tuanya, yang tak lain adik dari ayah saya, berada di Langkat, salah satu kabupaten di wilayah Sumatera Utara. Ayahnya seorang pejabat di sebuah perkebunan.
Waktu itu, saya bertanya, “Apakah kakak pernah makan daging … ?” Itu pertanyaan polos seorang anak kecil karena ia tinggal di lingkungan masyarakat yang biasa makan daging tersebut. Tapi wajahnya seketika memerah, sambil berucap: “Mulutmu harimaumu.” Saya tidak terlalu mengerti apa maksudnya waktu itu. Saya juga heran kenapa dia marah. Tentu saya tidak bermaksud menyinggung perasaannya.
Tapi begitulah, sering kita tidak sadar bahwa ucapan kita terkadang bisa menyinggung perasaan orang lain. Maka itu warning “mulutmu harimaumu” perlu menjadi rambu-rambu dalam menyaring ucapan sebelum keluar dari mulut kita. Ada kalanya sebuah tujuan yang baik, namun karena cara mengucapkan dan menyampaikannya tidak tepat akibatnya menjadi fatal. Sebuah kritik membangun bisa dimaknai sebagai penghinaan jika tidak disampaikan dengan santun.
Itulah sebabnya setiap orang perlu belajar berkomunikasi. Tentu kita tidak perlu menyampaikan sesuatu dengan cara yang merendahkan diri, seperti seorang pelayan membungkuk-bungkuk menyampaikan sesuatu kepada majikan. Bukan itu maksudnya. Dalam konteks ini, komunikasi adalah sebuah pertalian yang setara antara seseorang dengan orang lain, baik sebagai personal maupun wakil dari sebuah lembaga, organisasi dan institusi.
Sebagai personal, komunikasi menunjukkan identitas kita. Seorang tukang becah, buruh, penyair, seniman, politisi, akademisi, intelektual, pejabat, artis, hingga anak kecil, remaja, dan sebagainya masing-masing mempunyai cara berkomunikasi berbeda-beda. Tidak hanya cara, bahasa (termasuk diksi) yang mereka gunakan juga berbeda-beda. Remaja suka menggunakan diksi-diksi yang merefleksikan dunia mereka.
Pejabat suka menggunakan cara berkomunikasi dan diksi yang merefleksi institusinya. Intelektual berbicara dengan bahasa dan cara yang menampakkan bahwa ia terpelajar. Seniman berkomunikasi dengan bahasa penuh impresi — karena ia merefleksikan sosok yang peka terhadap orang lain. Anak kecil berbicara dengan cara mereka sendiri, yang polos –seperti halnya betapa polosnya saya bertanya kepada kakak sepupu saya di atas.
Memang kerap ditemui orang terpelajar berkomunikasi dengan cara orang tak sekolah, seniman berkomunikasi dengan gaya pejabat, politisi berkonikasi dengan gaya preman pasar, dan seterusnya. Boleh jadi, ia memang datang dari kultur demikian. Kemungkinan lain, ia sedang menikmati posisinya dan merasa di atas angin. Namun yang pasti, fakta semacam ini menunjukkan ia tidak punya keterampilan berkomunikasi yang baik.
Begitu seterusnya. Namun, tentulah, setiap orang harus bisa menempatkan diri dengan tepat ketika berkomunikasi. Seorang akademisi atau intelektual jangan berbicara dengan diksi-diksi ilmiah kepada petani, remaja dan anak kecil dan orang-orang yang berpendikan rendah. Begitu seterusnya. Pepatah lama: “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” juga berlaku dalam pola komunikasi. Artinya, kita harus berkomunikasi secara tepat sesuai ruang dan waktu.
Lalu, sebagai wakil dari sebuah lembaga, organisasi atau instituti, pola komunikasi merefleksikan bukan hanya diri kita sendiri (personal), juga menjadi citra dari lembaga, organisasi dan institusi yang menaungi kita. Makanya sering kita mendengar bahwa seorang karyawan sebuah perusahaan yang berhubungan dengan publik adalah wajah dari perusahaan tersebut. Semakin bagus cara ia berkomunikasi maka semakin bagus pula citra organisasinya.
Kita tentu sering melihat bagaimana karyawan bank begitu ramah menyambut nasabahnya, tanpa membeda-bedakan, mau kita pakai dasi atau sekedar kaos oblong, mau pakai sepatu mahal atau sandal jepit. Sebab, keramah-tamahan itu adalah wajah dari organisasi tersebut. Keramah-tamahan adalah bagian budaya perusahaan, yang bukan cuma di atas kertas, tapi menginternalisasi kepada semua karyawan.
Saya tentu tak perlu mengutip banyak teori untuk memperkuat argumen di atas. Terpenting, kita paham bahwa komunikasi harus membuat nyaman kedua belah pihak. Selain tentu saja komunikasi harus bisa membuat kedua belah pihak paham apa yang ingin disampaikan dan apa yang harus didengarkan. Hal terakhir, masing-masing pihak berada posisi yang sama dan sejajar. Sehingga tidak ada ketimpangan ketika menyampaikan maupun menerima informasi.
Kita pun harus paham siapa lawan komunikasi kita. Jika yang berbicara kasar kepada kita adalah orang tak terpelajar, pahami saja. Begitu pula jika yang bertanya polos itu anak kecil, kita jangan buru-buru marah dan menghardikinya. Tapi jelaskan kepada dia sisi baik-buruk pertanyaannya sehingga ia menjadi belajar. Bertolak dari itu, tentu kakak sepupu saya tidak perlu marah ketiaka mendengar pertanyaan saya di atas. Ia seharusnya mengajari saya.
DEPOK, 28 Januari 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL
>FOTO-foto: Pixabay.com