cangpanah

Kita Sering Melupakan Kegembiraan Kecil

Pada hari Minggu dua pekan lalu, saya mengajak anak-anak di rumah untuk merapikan teras di balkon rumah kami. Teras itu jarang diurus. Banyak benda tak penting teronggok di sana. Mulai dari semen, kayu-kayu, keramik, hingga meja yang rusak. Kayu-kayu ditempatkan pada sebuah sudut di atap, begitu juga keramik lantai yang belum sempat digunakan, ditaruh di atas topi kanopi, dan sebagian kayu tak terpakai “dikirim” ke bak sampah.

Beberapa potong besi, pintu fiber, saya kasih kepada abang pengumpul barang bekas yang kebetulan lewat. “Bawa saja bang,” ujar saya. Saya juga memberinya beberapa lembar kaca bekas jendela, namun ia menolak. “Takut pecah di jalan Pak.” Ia punya pengalaman membawa kaca lalu pecah di jalan dan akhirnya bukan hanya tidak bisa digunakan, tapi merepotkan dia harus mengutipnya agar beling kaca tidak mengganggu jalanan.

Seisi rumah ikut gotong royong sejak siang hingga menjelang magrib. Jarang-jarang melakukan kegiatan bersama, hari itu anak-anak tampak senang, terutama yang kecil, mereka menganggapnya seperti sedang bermain-main. Tak jarang mereka berteriak-teriak kegirangan, saling guyonan, dan kemudian tertawa bersama. Saya tersadar: kegembiraan dan rasa kebersamaan bisa tercipta dari hal-hal sederhana, melakukan kegiatan bersama di rumah semisal gotong royong ini.

Minggu pekan lalu, kembali saya mengajak mereka gotong royong. Kali ini, saya “menemuka” beberapa kaleng cat di rumah. Itu sebetulnya cat yang saya beli beberapa tahun lalu. Sekitar dua kaleng belum dibuka sama sekali. Dua kaleng lagi sudah dibuka, dan salah satu kaleng di antaranya yang berwarna merah jambu, menebar aroma apek. “Bau banget, sampai ke bawah,” ujar Edgin, anak saya yang duduk di kelas enam SD.

Kami pun kembali gotong royong: mengecat teras balkon. Kami melakukannya ramai-ramai. Dindingnya kami bikin warna-warni, sesuai ketersediaan cat. Cat warna abu-abu yang belum pernah dibuka dan masih penuh dipakai untuk mengecat dinding teras bagian kiri. Ada pun cat warna hitam, juga masih utuh dan belum pernah dibuka, digunakan untuk mengecat bagian depan pintu teras plus beberapa sudut lain.

Adapun pintu teras dicat menggunakan cat warna orange yang kami beli secara kiloan tak jauh dari rumah — dengan harga sangat terjangkau tentu — Rp 13.000 perkilo. Nah, tiba-tiba cat warna orange habis. Rupanya satu kilo tidak cukup untuk mengecat dua lembar daun pintu kupu-kupu. Akhirnya, pengecatan pintu tak dilanjutkan. “Pekan depat kita sambung,” kata saya. Saya pun meneruskan mengecat dinding dengan warna hitam.

Celakanya, cat warna hitam dan abu-abu pun pun habis. Begitu pula cat warna merah jambu. Semua hanya tersisa sedikit. Tak mungkin dengan jumlah cat segitu cukup untuk satu dinding berukuran 3 meter dengan tinggi 2,75 meter. Akhirnya, saya punya ide, membuat dinding teras itu seperti kanvas yang dicipratkan cat seenaknya oleh para perupa. Saya membayangkan dinding itu akan berbeda dari umumnya jika itu dicat dengan cara seperti itu.

Saya mulai dengan mengambil kuas, mencelupkan ke cat, lalu menggoreskan sesukanya di dinding. Edgin kemudian juga melakukan hal sama. Jadilah dinding itu aneka warna dengan goresan-goresan tak beraturan. Bakan, Edgin kemudian tak lagi memakai kuas, tapi mengambil cat dengan tangannya dan membuat cap tangan di sekujur dinding itu. Ia pun begitu menikmatinya. Ibunya sempat melarang. “Biarin aja. Biar dia bahagia waktu kecil,” ujar saya.

Saya bilang, banyak orang karena tak bisa banyak bermain-main di masa kecil akhirnya ketika dewasa bahkan tua suka main-main. “Maka itu puas-puaskan bermain di masa kecil agar kelak ketika dewasa tidak seperti anak kecil.” Akhirnya, ibunya yang tadinya kurang setuju pengecatan seperti itu — bahkan mengancam perlu dicat ulang — ikut menggoreskan kuas di sana namun tetap dengan perasaan aneh.

Hanya Edza, yang masih TK, sama sekali tidak mau bermain cat. Bahkan, tidak mau ikut bantu ngecat meskipun ia duduk menemani kami gotong royong dalam posisi menghindar agar tidak terkena cipratan cat. Sementara abangnya, Rizki, yang duduk di kelas II SMA, setelah membantu mengecat pergi entah ke mana sore itu. Mungkin ia sedang main futsal. Adapun kakaknya, Fira Meutia, sedang menyuci di sudut lain rumah.

Tapi setelah usai mengecat, Edgin — yang suka membuat video dan pemilik Edgina Channel di Youtube itu — membuat ulah yang membuat adiknya, Edza, teriak-teriak dan marah-marah. Ia menempel tangannya yang berlumur cat hitam ke muka Edza!

JAKARTA, 26 Januari 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: @MOESISMAIL | MUSISMAIL

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: