cangpanah

Warung Kopi, Puisi dan Rumpi

Aceh adalah negeri dengan sejuta warung kopi. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan, namun itu bolehlah dilihat sebagai “hiperbola” yang menjelaskan betapa warung kopi ada di setiap sudut bumi di Aceh. Pertama, itu menunjukkan bahwa orang Aceh sangat inklusif, terbuka, guyub, dan senang bersosialisasi.

Namun, celakanya, ada persepsi berlebihan terlanjur melekat: kebiasaan berlama-lama di warung kopi itu membuang-buang waktu dan tidak produktif. Anggapan itu tidak selamanya benar. Saya ingat di kampung saya di sebuah kecamatan di Pidie Jaya, orang-orang nongkrong di warung kopi itu hanya pada pagi, siang, dan malam hari. Waktu-waktu di antara itu warung kopi sepi.

Pagi adalah saat mereka bersiap untuk ke tempat kerja atau pulang kerja. Sebagian besar pekerja di kampung saya adalah petani dan nelayan. Sedikit yang bekerja kantoran, entah itu pegawai negeri atau swasta. Para petani pergi ke sawah atau ladang itu pada pagi, pulang siang untuk makan, dan kembali lagi sampai sore.


>foto: repro sindoweekly.com

Adapun nelayan, biasanya melaut pada malam hari dan berlabuh pada pagi hari. Sebelum pulang ke rumah, mereka terlebih dahulu singgah di warung kopi. Kondisi ini, tentu saja, berbeda dengan kota-kota besar. Keberagaman jenis pekerjaan menjadikan warung kopi tampak selalu ramai. Pertemuan-pertemuan bisnis dilakukan di warung kopi.

Sebagian pekerja kreatif, seperti desainer, animator, programer, hingga penulis (esais, novelis, cerpeni dan penyair), bekerja di warung kopi. Begitu pula sebagian mahasiswa juga mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di warung kopi. Mengapa harus di warung kopi? Hmm. Salah satunya karena sebagian terbesar warung kopi di Aceh menyediakan internet kecepatan tinggi.

Namun, ada hal lain yang menjadi pertimbangan: warung kopi menghilangkan sekat-sekat sempit menyangkut status bahkan strata sosial. Warung kopi meleburkan batas-batas itu. Maka itu tak heran kita dengan mudah bertemu pejabat publik, anggota dewan, hingga kepala daerah di warung kopi. Mereka bisa dengan bebas mengobrol tanpa perlu jaim alias jaga imej.

Bahkan, salah satu bupati di Aceh, yakni Bupati Pidie (1980-1990), Nurdin AR, sering mampir di warung kopi untuk bertemu langsung dengan warganya. Ayah dari artis Nova Eliza ini begitu akrab dengan warga. Biasanya ia menggunakan sarung dan mengendarai vespa atau naik jeep Hardtop. Warga pun merasa akrab dengannya. Mereka dengan bebas meminta rokok sang bupati atau meminta dibayarkan kopi.

Sebelum dikenal istilah blusukan, Bupati Nurdin AR, yang dikenal sebagai penyair itu, telah lebih dulu melakukannya. Jadi, warga pun tidak perlu datang ke kantor bupati atau rumah dinas untuk bertemu, tapi cukup datang ke warung kopi. Tak ada protokoler, apalagi penjagaan. Semua berlangsung secara alamiah sebagaimana rakyat biasa.


>foto: repro tempo.co

Jadi, persepsi bahwa warung kopi tempat orang-orang malas atau tak punya kerjaan tidak seluruhnya benar. Saya sendiri suka nongkrong di warung kopi untuk menulis puisi, esai, cerpen, termasuk mengerjakan pekerjaan kantor. Tapi tentu sekarang saya bukan nongkrong warung kopi di Aceh, tapi Jakarta dan sekitarnya.

Satu hal lagi: di Aceh, di warung kopi segala hal dibicarakan. Mulai dari urusan remeh-temeh, hingga urusan ekonomi dan politik negara. Di warung kopi pula orang bebas untuk merumpi. Hihi…

JAKARTA, 18 Januari 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: