cangpanah

Debat Capres, Tukang Angkut Sampah, dan Lain-lain

Sebut saja namanya Suman. Saya memperkirakan usianya sekitar 50-an tahun. Lebih tua dari saya. Ia sudah lebih lima tahun menjadi tukang angkut sampah di perumahan saya di perbatasan Depok, Jawa Barat, dan Pamulang, Tangerang Selatan. Ia punya sebuah mobil pickup warna hitam. Mobil merek Jepang itu dimodifikasi sedemikian rupa tiap mengangkut sampah.

Bukan moditikasi permanen, tapi bisa dibongkar-pasang. Jika tidak “berdinas”, pembatas kiri kanan agar memuat lebih banyak sampah itu dibongkar. Satu hal yang penting: setiap kelar mengangkut sampah ia mencuci bersih mobilnya. Jadi, dipastikan tidak bau ketika diparkir di gang depan rumah atau carportnya.

Mobil itu pun digunakan multifungsi. Tak melulu mengangkut sampah. Ia juga menyewakan mobil pickup itu untuk mengangkut-angkut barang. Biayanya bervariasi, tergantung jumlah barang dan jarak angkutan. Ia begitu menikmati pekerjaannya itu. Setahu saya, ia tidak punya pekerjaan lain. Kehidupannya sederhana. Sejak saya mengenalnya — tidak dekat sih — ia biasa saja.

Saya tak tahu apa pilihan capresnya. Saya memang tidak banyak bergaul di perumahan tempat saya tinggal, karena ritme kerja saya dengan mereka berbeda. Ketika mereka pergi kerja subuh-subuh, saya masih tidur. Saya tiba di rumah, mereka sudah tidur. Ketemu hanya ketika jadwal ronda. Tapi, di pos ronda, tidak ada yang saling bertanya tentang pilihan-pilihan politik.

Pilihan siapa wali kota (kebetulan secara administratif rumah saya masuk wilayah Depok), gubernur, hingga calon presiden itu adalah sikap dan pilihan personal masing-masing. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi sampai bertengkar karenanya. Kita bukan “tim sukses” atau “kelompok bayaran” yang memang berkepentingan untuk mendukung “kesebelasan” kita.


FOTO: Pixabay.com

Mempunyai pilihan dan mendukung itu sih sah-sah saja. Tapi, kita bisa mendukungnya dengan cara yang asyik. Tidak perlu ngotot, sampai membuli bahkan memaki-maki. Tidak perlu pula menebar informasi-informasi palsu. Tidak perlu menganggap calon yang kita pilih paling benar. Tidak perlu juga kita merasa paling benar. Kita bikin asyik saja.

Saya yakin sebagian dari kita — saya bilang sebagian karena tidak seluruhnya — pasti memilih karena “selera”. Seringkali, selera tidak bisa diukur dengan logika. Ini mirip hubungan cinta. Sering tak masuk akal, misalnya, kenapa seorang perempuan yang cantik banget lalu memilih pasangannya yang sangat biasa-biasa saja, bahkan di bawah standar ganteng. Begitu sebaliknya.

Dalam soal pilihan politik, hal itu tak bisa dinafikan pula. Sehingga menjadi susah ketika kita coba membuat rumusan rasionalnya. Sama tidak rasionalnya dengan orang yang dijodohkan oleh orang tua namun mau saja. Padahal, ia belum tentu cinta. Ketika ditanya, kenapa mau, jawabannya bisa bermacam-macam: mulai dari jodoh, takdir, hingga berbakti pada orangtua.

Nah, kasus ini bisa menjadi analogi orang-orang “yang terpaksa” memilih garis politik tertentu karena keluarga, dorongan kelompok dan lingkungan. Ada orang yang memilih seorang calon karena keluarganya memilih itu, atau karena kelompok pengajiannya memilihnya, atau karena terpengaruh orang-orang di tempat tinggalnya yang dominan “kesebelasan” itu.

Ini jadi mirip fans kesebelasan sepakbola. Karena di rumah sang ayah memuja MU, maka seiisi rumah menjadi fans MU. Masalahnya, nontonnya bareng, sambil makan kacang. Meskipun ada juga keluarga yang berbeda pilihan “kesebelasan”, tapi terpenting asyik-asyik saja. Tak perlu putus hubungan karena beda pilihan calon presiden dan “kesebelasan” sepakbola.

Mereka cenderung ikut-ikutan. Namun, pilihan-pilihan itu tidak mudah berubah jika “model” atau “patron” mereka tidak mengubah pilihan atau “bekhianat”. Celakanya, sebagian orang yang menjadi model dan patron itu memperlihatkan sikap tak asyik. Sehingga “para kawula” di bawahnya mencontohnya. Inilah yang kemudian memunculkan ketegangan-ketegangan.

Para politisi boleh saja berkata “masyarakat kita bisa menilai sesuatu secara rasional”. Persoalannya, berapa banyak masyarakat dalam kategori “bisa menilai secara rasional” itu. Bahkan, sebagian orang terpelajar pun — dalam soal pilihan politik — suka bersikap dan bertindak irasional dengan memperlihatkan cara mendukung berlebihan.

Foto-KPU
FOTO: KPU

Debat capres, misalnya, barangkali tidak akan banyak mempengaruhi para pemilih semacam ini. Bukan mudah mengubah sebuah pilihan. Jika para calon berdebat dengan cara rasional, namun “tim hore-hore” tetap mengedepankan cara-cara irrasional. Periksalah timeline media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram hingga grup-grup WhatsApp.

Kita lupa, bahwa pilpres hanya “pesta”. Dalam pesta, kita boleh toh memilih makanan berbeda-beda. Lagi-lagi, itu soal selera. Hanya sebagian orang yang mungkin karena pertimbangan rasional: kandungan gizi, diet, atau mengikuti anjuran dokter karena masalah penyakit tertentu. Lainnya, bebas-bebas saja.

Setelah pesta usai, kita akan kembali menjadi diri sendiri. Pulang ke rumah. Menghadapi realitas hidup yang sebenarnya. Memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, para karyawan kantoran akan tetap bangun pagi-pagi untuk berangkat ke kantor. Sumah, tukang pengangkut sampah yang saya ceritakan di awal, pun akan kembali meneruskan aktivitasnya mengangkut sampah.

JAKARTA, 17 Januari 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL

FOTO UTAMA: Pixabay.com

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: