Sepasang Kereta, dari Puisi ke Karya Rupa
Tulisan ini masih melanjutkan tulisan sehari sebelumnya. Jika sebelumnya saya merespon lukisan Jeffrey Sumampouw, kali ini Jeffrey yang merespon puisi saya. Puisi itu saya tulis pada 2009, ketika saya bersama sejumlah penyair Aceh hadir untuk “silaturahmi puisi” di Yogyakarta. Puisi ini saya tujukan kepada dua kawan yang amat baik dan bersahaja, mulai dari menyambut kami, hingga menyiapkan acara di sana.
Tapi yang menarik tentu saja tafsirnya. Apalagi, ketika tafsir itu berpindah dari puisi menjadi karya senirupa. Ia bukan saja mendapatkan bentuk baru, tapi sekaligus menemukan makna baru. Sebab, bisa jadi apa yang saya sampaikan di dalam puisi itu berbeda tafsirnya dengan apa yang dipahami oleh pembaca. Dalam dunia seni, kekayaan tafsir itu sah saja. Sebab, tidak ada tafsir tunggal dalam dunia kreatif. Yang boleh ditafsir tunggal hanya Undang-Undang.
Nah, bagaimana wujud kedua karya itu. Mari simak dulu puisinya, lalu di bawahnya lukisannya.
SEPASANG KERETA
mengapa code begitu penting diingat ?
gardu itu memercik api.
“menyambutmu”, katamu dini hari itu
lampu memang tiba-tiba mati
kita tetap menghabiskan minuman dan
makan malam yang tertunda
rasanya aku telah mengenalmu begitu
lama: dimanakah?
aku jarang ke stasiun
atau mungkin kau telah membentangkan rel
di depan rumah
setiap pagi menyamar menjadi sepasang tetangga
tapi aku tidak pernah melihatmu
selelah dini hari itu
tertidur saling berbagi mimpi: atau kau
sedang merancang sebuah pentas untuk esoknya?
wow, aku pun terlempar ke dalam sajakmu
sepasang peri kecil mengalungkan bunga
dan tersenyum tak henti-henti
“aku terharu mengenalmu”, katamu
mengapa kita menjadi begitu sentimental?
baiklah, aku ingin menghadap jendela
di dalam gerbongmu yang sunyi
tanpa kau tanya kemana tujuanku.
mengapa code begitu penting diingat?
kau telah tahu: dialah yang pertama kali
menyambutku, setelah dirimu,
bersama percik api di sebuah gardu.
Mustafa Ismail
Semarang-Jakarta, 1 April 2009
MI | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL