Dari Klise ke Klise, Obrolan Konyol dengan Penyair Milenial
OLEH: MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIl | @MUSISMAIL | MUSISMAIL.COM |
“Apa sih yang baru dalam hidup ini? Peristiwa selalu berulang,” kata Suman, seorang anak muda, yang lagi galau mencipta puisi. Ia berhenti menulis puisi karena merasa tidak ada lagi yang baru dituliskan. “Semua hal rasanya sudah pernah dituliskan menjadi puisi. Soal cinta, kemiskinan, kemelaratan, kejahatan, korupsi, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, kasih sayang, semua pasti sudah pernah ditulis. Apa lagi?”
Baka menyela. “Dunia tidak selebar daun kelor, Polem. Katanya penulis puisi itu orang kreatif, masa kau hanya berkutat pada gagasan-gagasan klise semacam itu. Bangkitlah, pergilah sejauh-jauhnya dan menulislah,” ujar Abu Bakar, nama lengkap Baka. Di Aceh, nama panggilan memang suka dibikin sederhana. Misalnya Ismail dipanggil Mae, Muhammad dipanggil Amad, Ibrahim dipanggil Brahim, Muhammad Syammaun dipanggil Maun. Dan seterusnya.
Sambil membetul duduknya seolah ada yang salah, Suman segera menanggapi kata-kata Baka. “Pergi jauh? Abang bercanda. Ongkos cetak buku untuk ikut sayembara itu saja belum lunas,” ujar Suman.
“Bukan begitu Suman. Maksudku, kau jangan terus berkutat pada ide-ide yang telah banyak ditulis oleh penyair lain. Cobalah menggali hal-hal baru, ide-ide baru dan gagasan-gagasan baru. Iqra! Membacalah. Membaca banyak hal di sekelilingmu, pasti banyak hal belum ada yang menuliskan. Salah satu pertanyaanku, apakah pernah Apam ditulis menjadi puisi?”
“Apa? Apam? Haha.” Suman tertawa panjang. Baka juga tertawa. Kemudian, setelah puas, mereka terdiam. “Benar juga. Aku belum pernah membaca puisi tentang apam.” Apam adalah kue khas dari Aceh. Bentuknya mirip serabi. “Tidak hanya apam, tapi kita menulis tentang tradisi yang terkait dengan itu.”
“Apa kubilang. Pasti banyak hal belum ditulis menjadi puisi. Makanya kau jangan berkutat dengan urusan itu-itu saja, soal kemiskinan, kemelaratan, cinta, hubungan Tuhan dengan Manusia, keindahan alam, kecantikan, dan sebagainya. Kalau itu pasti sudah banyak ditulis oleh banyak penyair. Kau harus menulis hal-hal baru yang belum pernah ditulis orang menjadi puisi.”
“Aku baru paham. Kupikir semua hal di dunia ini adalah perulangan. Semua hal pernah disentuh para penyair. Dalam bayanganku, yang bisa kita lakukan hanya bermain-main bentuk, bermain dengan cara uangkap.”
“Bodoh kali kau kalau berpikir seperti itu. Puisi itu bukan cuma urusan cara ungkap. Puisi mencakup gagasan. Cara ungkap atau bentuk dengan gagasan alias isi adalah satu kesatuan. Kau harus menemukan kebaruan tentang keduanya. Kalau kau menulis puisi cinta, tapi puisi kau lebih jelek dari puisi Rendra atau Chairil, mendingan kau lempar ke laut saja. Tulis yang tidak pernah ditulis orang. Itulah into kreativitas. Kalau kau membebek pada Sapardi misalnya, kau itu bukan kreator. Kau itu pembebek,” ujar Baka.
Ia menatap tajam ke Suman, anak muda yang dikenalnya beberapa tahun di sebuah warung kopi dekat Krueng Aceh. Sebelumnya, ia hanya kenal nama Suman — dia memakai nama pena Ahmad Namus (nama aslinya Muhammad Usman) dari puisi-puisinya yang dimuat di koran lokal dan nasional. Ia penyair potensial. Sudah hampir setahun ia tidak menulis, karena merasa tidak ada lagi hal baru untuk ditulis.
Umur mereka berjarak jauh. Suman generasi milenial. Adapun Baka, bekerja editor budaya sebuah koran daerah, adalah penyair generasi tempo doeloe. Ia lama menjadi redaktur budaya sebuah koran nasional, sebelum pensiun lalu membuka warung kopi di kampungnya di Aceh. Maklum, bisnis warung kopi di Aceh luar biasa.
“Bang Baka betul. Aku baru ingat, ada sejumlah penyair yang menjelajah tema-tema segar yang jarang disentuh orang. Aku pernah baca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menulis tentang dunia dapur, Hasta Indrayana soal kuliner, R Aziz Manna menulis puisi tentang permainan tradisional di Jawa (buku puisinya Playon), Afrizal Malna menulis tentang sisi lain dunia urban. Terakhir aku dengar ada buku puisi baru Kiki Sulistiyo yang menulis puisi tentang Bakarti. Judul bukunya Rawi Tanah Bakarti. Aku ingin sekali membaca buku itu, katanya puisi-puisinya segar.”
“Jangankan anak muda, Pak Sapardi Djoko Damono saja berusaha menjelajah tema dan gagasan baru. Kau baca kan buku puisinya “Babad Batu”, yang beberapa tahun lalu jadi buku sastra terbaik Tempo. Masa anak milenial cemen, apalagi menjadi pengekor Sapardi. Sapardi saja berusaha keluar dari dirinya sendiri. Memang batu akik itu barang lama, tapi apakah pernah sebelumnya ditulis menjadi puisi? Bakarti juga sudah ada sejak dulu, tapi apakah selama ini pernah ada penyair yang menjejalahnya dan menulis jadi puisi? Seorang kreator ya harusnya begitu, menulis sesatu apa yang belum pernah ditulis orang. Bukan hanya bermain-main dengan bentuk.”
Suman diam sejenak. Ia meraih telepon genggam, lalu membuka sebuah aplikasi toko online, mencari-cari sesuatu. Ia lalu memperlihatkannya kepada Baka. “Ini bang bukunya Kiki Sulistiyo, aku sudah pesan lewat toko online ini tapi belum tiba. Nanti setelah aku baca, aku akan pinjamkan ke Bang Baka agar ikut baca juga. Nanti kita diskusikan lagi.”
“Itulah, anak muda harus membuka mata dan jangan berpikir sesat. Seolah-olah semua hal di dunia ini tidak ada yang baru. Benar, sejumlah peristiwa adalah perulangan, tapi untuk gagasan. Gagasan bukan perulangan dan harus selalu baru. Media sosial baru gak? Itu hal baru Bung. Emang tahun 1970-an sudah ada Facebok dan Twitter? Telepon pintar baru gak? Itu baru coy. HP memang sudah banyak sejak tahun 1990-an, tapi dulu cuma untuk telepon dan SMS, sekarang bisa kerja di HP. Modelnya makin keren, fiturnya makin paten, sampai ada yang berkamera 100 megapixel. Itu hal baru bukan? Ya baru dong. Banyak hal baru di sekeliling kita. Konyol sekali jika seorang kreator tak bisa menangkapnya.”
Sedang seru-serunya mereka ngobrol, tiba-tiba sebuah telepon masuk di telepon genggam Suman. Ia permisi untuk mengangkat telpon di luar warung kopi. “Aku juga mau jalan dulu. Nanti kita ngobrol lagi,” ujar Baka. Ia segera menyeruput kopi terakhirnya. Ia lalu memanggil pekerja warung, membayar kopi, lalu pergi.
DEPOK, 7 JANUARI 2019
>FOTO 1 & 2: Pixabay.com