cangpanah

Apakah Kita Masih Merindukan Kampung Halaman?

Kampung dan kota, apa bedanya? Teknologi informasi membuat batas-batas desa dan kota semakin tipis, bahkan tak berbatas lagi. Saat sebuah peristiwa terjadi di satu sudut dunia dalam sekejab informasinya menyebar ke seluruh sudut dunia lain. Tak hanya dalam bentuk teks, tapi dalam bentuk multimedi: foto, video dan suara.

Apa yang terjadi di Ibu Kota, akan dengan mudah diketahui oleh orang-orang di kampung saya, di sebuah Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh. Jadi antara Jakarta dan Trienggadeng hanya berbatas jarak secara kasat mata saja, tapi secara digital tak berbatas lagi. Saya tak harus pulang ke kampung untuk bercakap-cakap, bermuka-buka, dengan sanak-saudara. Tapi cukup dengan video call, kami bisa saling berbagi kabar atau sekedar hahaha.

Jarak dilipat begitu rupa. Pakaian yang saya pakai di Jakarta juga dipakai oleh teman-teman kampung saja. Media yang saya baca juga dibaca oleh teman-teman di kampung. Video yang saya tonton juga ditonton oleh mereka. Mereka juga bisa membaca buku dan majalah dibaca oleh anak-anak kota. Sehingga memang betul-betul tak ada bedanya antara Jakarta dan kampung saya.

Bedanya hanya secara fisik. Jakarta banyak gedung-gedun tinggi, kemacetan, ketergesaan, dengan segala hiruk-pikuknya. Kampung saya tenang, dengan padi menguning dan pantai berombak kecil, dan mereka saling kenal satu-sama lain saat bertemu di jalan. Tapi, apakah kita masih merindukan kampung halaman secara fisikal? Benarkah saya cukup bertemu sanak-saudara lewat video call? Mari baca saja puisi berikut ini.

>HIKAYAT KAMPUNG
>
>ayat-ayat yang bergelombang memecah-mecah kaca jendela
>di tengah hiruk dan siulanmu di angkutan kota
>mengirim jalan setapak, rumah tua, juga sebuah meunasah yang kalah
>oleh suara azan dari telepon pintar dan denting gelas di warung kopi
>
>kau terlalu tua untuk mengerti, katamu, tentang lorong-lorong
>yang makin panjang — bukan di kota tempat kau terjebak menjadi
>kelelawar, tapi di sebuah bentangan bukit yang berundak-undak
>dengan palawija yang sedang tumbuh dan membiak
>
>setiap pagi, kita memandikan jempol kaki dan rambut beruban,
>membedaki bibir, menglipstikkan payudara dengan warnah merah saga
>juga membuat sebuah lubang di tengahnya
>tempat kita berpetak umpet waktu malam, setelah kota-kota kembali ke sarang.
>
>kau tidak pernah bisa menjawab satu pertanyaan:
>mengapa matamu selalu basah setiap mendengar ayat-ayat yang
>melengking di gang-gang ramai, seolah membunuh ritus-ritus
>dan riwayat kampung yang tak kunjung terang
>
>kampung dan kota tak ada bedanya, katamu, dan kami selalu
>berdoa di sudut-sudut halaman karena lampu di kamar sering padam
>jurong-jurong lebih gelap dari pada yang kau duga
>tapi kami, ujarmu lagi, tetap terus berzikir kepada Yang Maha.
>
>Depok, 27 Mei 2017
>

JAKARTA, 4 JANUARI 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIl | @MUSISMAIL

FOTO:
sekolah.data.kemdikbud.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: