Jangan Lupa (Klise) Bahagia
Sambil pulang kantor malam ini, saya menemukan kalimat ini pada sebuah warung: Jangan lupa bahagia. Sekilas tak ada persoalan dengan kalimat tersebut. Anjuran itu sangat positif. Mengajak orang untuk bahagia adalah adalah ibadah sosial. Terpujilah orang-orang yang selalu sempat memikirkan kebahagian orang lain.
Namun, kalimat itu terus menyerbu kita (setidaknya saya) dalam banyak tempat dan kesempatan. Akibatnya, kalimat itu tidak lagi punya daya gugah. Lebih jauh saya menjadi terasa “aneh” mendengar atau membaca kalimat itu. Seperti malam ini, sungguh, kalimat itu begitu menggelikan. Apakah ada yang salah?
Tentu tidak ada yang salah. Saya hanya membayangkan betapa mudahnya orang menuliskan kalimat itu dan/atau menuliskannya. Seolah bahagia itu semudah menuliskan atau segampang mengucapkan. Itu soal pertama. Kedua, apa sih yang disebut bahagia itu? Sering kita mengucapkan bahagia tapi tidak jelas apa bahagia.
Ada lagi kalimat yang kerap didengungkan bahwa: bahagia itu sederhana. Tentulah mencapai kebahagiaan tidak sesederhana kalimat tersebut. Sebab, bahagia itu sangat kompleks dan rumit. Tidak ada rumusan baku apa itu bahagia. Lagi-lagi bahagia itu dibentuk oleh persepsi. Ada orang yang hidup bahagia dengan hanya beberapa pasang pakaian dan rumah gubuk. Namun ada orang punya mobil sepuluh tak bahagia dan masih saja mencari kebahagiaan.
Ada orang punya punya pasangan penuh kasih sayang dan romantis tapi tak bahagia. Tapi ada pula orang punya pasangan sangat cuek dan gak ada romantis-romantisnya tapi merasa bahagia. Begitu seterusnya. Ukuran dan persepsi bagi seseorang dengan orang lain bisa sangat berbeda.
Celakanya, televisi, film, iklan, juga media sosial mengkampanyekan bahagia itu dengan standar tertentu. Bahkan, kebahagiaan diindikasikan dengan barang tertentu, merek tertentu, dan pencapaian tertentu. Akibatnya, kita banyak menyaksikan foto-foto dam video yang seolah-olah memperlihatkan standar kebahagiaan mereka: mulai dari makanan yang mereka makan, liburan, pakaian, mobil, rumah, tempat nongkrong, hingga berbagai benda yang mereka kenakan.
Sesungguhnya yang terjadi psedo-kebahagiaan. Mungkin mereka memang bahagia tapi mereka tak yakin mereka bahagia sehingga perlu “mata” orang lain untuk menilai bahwa “o benar orang tersebut bahagia”. Dengan kata lain, mereka perlu diakui bahwa mereka bahagia. Perlu orang-orang di luar mereka memberi stempel bahwa mereka bahagia. Mereka perlu tepuk tangan. Mereka membutuhkan orang lain untuk merayakan kebahagiaan mereka.
Celakanya, teknologi menyediakan banyak ruang untuk itu — bagi mereka untuk mendapatkan tepuk tangan, penilaian, penegasan, hingga ajakan untuk merayakan kebahagiaan itu. Jika ada saja orang iseng memberi dislike pada postingan (foto atau video) pameran kebahagiaan mereka pastilah langsung manyun dan uring-uringan. Makanya di media sosial orang cenderung menyenangkan hati orang lain — seperti komentar keren, mantap, ‘bertus” (meledak dalam bahasa Aceh) dan seterusnya. Sebab yang dicari memang itu.
Berangkat dari fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bahagia menjadi tidak lagi sederhana. Sangat kompleks. Bahkan bahagia tidak lagi cuma persepsi — cara pandang — tapi juga pretensi. Orang-orang menempuh jalan menuju kebagiaan bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi untuk dibagi (bahasa lain: dipamerkan) kepada orang lain. Lebih jauh, seperti saya sebutkan di atas, mereka meminta orang tersebut memberi pengakuan bahwa mereka bahagia.
Maka itu ketika menemukan kalimat semacam “jangan lupa bahagia”, “bahagia itu sederhana”, dan sejenisnya itu menjadi kata-kata klise. Kalimat-kalimat itu menjadi jargon konyol dan membosankan.
Depok, 28 Desember 2018
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @musismail
ILUSTRASI:
pixabay.com