Penyair Kelas Arsitek versus Kelas Tukang
Puisi baru, tentu saja, berbeda dengan puisi yang menyajikan hal baru. Sering pula disebut kebaruan. Boleh juga kesegaran. Ikan yang baru diangkat dari jaring tentulah ikan yang baru dan segar. Sering, ia masih melompat-lompat ketika diciduk dari jaring. Sebaliknya, ikan yang sudah berhari-hari ditangkap dan dieskan, tentulah bukan lagi ikan yang baru dan segar. Meskipun tampak baru, jelas ia bukan ikan segar. Apalagi kalau kita bicara ikan asing.
Dalam puisi kebaruan ditandai dengan beberapa hal. Pertama, kebaruan dalam pengungkapan yakni cara menulis atau mengungkapkan gagasan sehingga membentuk struktur dan bangunan yang betul baru. Mari kita bayangkan jika sebuah rumah hanya satu model betapa membosankan. Begitu pula jika semua gedung satu model juga tidak menarik. Apalagi kita sama wajahnya. Mirip pun berpotensi menimbulkan kebosanan, bahkan kita berpotensi salah orang. Maka Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda bukan hanya bisa mudah membedakan antara satu dengan yang lainnya melainkan juga agar manusia tidak membosankan. Nah, manusia adalah karya maha kreatif dari Tuhan.
Para arsitek juga selalu menciptakan karya baru untuk rumah dan gedung, termasuk elemen terkecilnya seperti pintu, pagar jendela, komposisi ruangan, cat, hingga pemilihan ubin untuk lantai. Cat dan ubin boleh jadi karya standar, tapi di tangan arsitek penerapannya di bangunan atau rumah bisa membuat tampilan rumah itu menjadi segar. Ini beda dengan tukang: hanya mencontek rumah yang ada, lalu mengaplikasinya dalam rumah atau bangunan yang dia bikin.
Arsitek jelas adalah seorang kreator. Adapun tukang adalah “pencontek” atau dalam bahasa yang lebih halus — tidak mencontek plek — ia adalah epigon. Nah, perumpamaan ini paling tepat untuk menggambarkan dunia puisi. Ada penulis puisi yang kelasnya kreator, dan ada penulis puisi yang kelas tukang. Bangunan yang dibuat tukang biasanya tanpa konsep, hanya meniru, bahkan mencontek. Adapun rumah yang dibikin arsitek punya konsep dan diolah dari penjelajahan kreatif. km
Puisi yang dibuat seorang penulis kelas tukang tentu sulit bagi kita untuk menemukan kebaruan. Bahkan, tukang yang sangat-sangat terampil pun akan sulit menyajikan kesegaran yang utuh. Ia tidak menjelajah dengan gagasan dan konsep, hanya memoles-moles hasil meniru sehingga seolah-olah itu menjadi karya baru. Kita bisa mengidentifikasi dari penerapan warna, komposisi bangunan, ruang, semua bisa diidentifikasi “asal” tiruannya — mungkin mirip rumah tetangga yang sudah lebih dulu ada atau tak jauh berbeda dengan gedung menjulang di jalan protokol.
Dalam konteks kepenyairan, ada penyair kelas tukang yang puisinya meniru puisi penyair terkenal. Ada pula penyair kelas arsitek yang benar-benar menulis dengan gayanya sendiri, khas, dan segar. Sehingga karyanya berbeda dengan penyair lainnya. Tapi bukan berarti penyair kelas tukang tidak dapat naik ke kelas arsitek. Caranya, tentu saja ia harus terus belajar dan, yang paling utama, meninggalkan kebiasaan meniru. Mulailah menjelajah hal-hal baru yang belum dilakukan orang. Sutardji Calzoum Bachri menggali dan menjelajah dunia mantra untuk bangunan puisinya. Afrizal Malna menjelajah dunia urban. Joko Pinurbo “bermain-main” dengan dunia sehari-hari yang komedikal.
Bagi penyair kelas arsitek,
bangunan puisi — antara lain termasuk diksi, simbol, musikal — benar-benar tampak baru dan segar. Gagasan yang Melahirkan puisi tentu saja berperan penting dalam membentuk diksi, simbol dan musikal. Misal, kita menulis puisi tentang sejarah, maka tentu penyair akan menggunakan diksi dan simbol-simbol yang berkaitan dengan itu yakni dari dunia sejarah. Penyair yang menulis puisi tentang dunia makanan (kuliner), tentu pula menggunakan diksi dan simbol dari dunia makanan. Penyair yang menulis tentang politik tentu akan menggunakan diksi dan simbol-simbol tentang itu.
Jadi penjelajahan harus dimulai dari gagasan. Mulailah keluar dari wilayah diri sendiri — termasuk tema-teman sentimentil — dan menjelajahlah ke dunia di luar diri kita. Kita akan menemukan banyak hal baru dan menarik yang tentu saja akan membuat puisi kita menjadi segar. Sekaligus, kita akan merasakan pengalaman dan pengetahuan baru dari sana. Baik itu pengalaman puitik, estetik, hingga pengaman spritual. Dengan menemukan hal-hal baru kita sekaligus telah menempatkan diri sebagai manusia yang apresiatif terhadap karunia dan ciptaan Tuhan. Ia menciptakan dunia begitu luas sehingga sayang sekali kita asyik masyuk berada dalam tempurung “diri sendiri”. ***
JAKARTA, 27 Agustus 2018
MUSTAFA ISMAIL