Pacar Seharga Rp 100 Juta
>Ini cerpen lama, saya tulis pada tahun 2013, ketika era SMS masih berjaya. Gagasanya tentang telepon genggam yang digunakan menawarkan barang, jasa hingga penipuan.
Cerpen: Mustafa Ismail
Ketika aku berlari-lari menghindar dari gerimis, sehabis makan siang di dekat kantor, telepon genggamkan berbunyi. Tapi aku tak mungkin berhenti untuk mengangkatnya. Baru ketika tiba di kantor, aku buka. Ada lima telepon dari nomor yang sama tak terjawab. Tapi aku tidak mengenal nomor itu. Boleh jadi itu adalah agen asuransi, telemarketing kartu kredit atau berbagai penawaran lainnya.
Kalau pun tadi tak sedang berlari-lari, sudah pasti telepon itu tidak kuangkat sebelum bisa kupastikan siapa yang menelpon. Biasanya, kalau teman atau relasi, setelah beberapa kali menelpon tidak kuangkat, mereka akan mengirim pesan singkat sms. Baru setelah itu kuputuskan apakah aku yang menelpon atau mereka kuminta menghubungiku kembali saat itu. Kalau tidak, sampai kiamat pun tidak akan kuangkat.
Dari adikku pun, Putri – yang tinggal di luar kota – tidak akan kuangkat kalau dia menelpon memakai nomor yang tidak kukenal. Itu menyebabkan beberapa kali Putri marah-marah. Pasalnya ia menelpon pakai nomor telepon kantornya, yang karena sistem hunting, yang muncul bisa bermacam-macam nomor di layar handphoneku. Tapi ia bisa memahami setelah kujelaskan masalahnya.
Sungguh, belakangan aku menjadi trauma mengangkat telepon. Banyak sekali telepon masuk yang sangat menganggu. Tidak hanya dari telemarketing yang bicaranya seperti tak pernah berhenti dan tanpa memberi kesempatan kita untuk menanggapinya, juga dari orang-orang yang tiba-tiba marah-marah, memaki, menghardik, lalu ujung-ujungnya meminta uang.
Ada pula penagih hutang salah alamat. Tapi tetap ngeyel, bahkan sampai membentak dan mengeluarkan kosa kata kebun bintang, ketika dijelaskan bahwa yang dia telpon bukan orang yang dimaksud, dia enak saja menutup telepon tanpa berkata apa pun, apalagi meminta maaf.
Tampak sekali para penagih hutang itu tidak belajar sopan-santun dan kantornya membiarkan mereka menjadi orang brutal. Mereka lupa sikap semacam itu membuat citra perusahaan pemberi pinjaman tersebut menjadi jelek. Sebetulnya “korban” — maksudnya mereka yang dimaki-maki itu – bisa melaporkan penagih hutan itu kepada polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, ancaman dan tindakan kekerasan.
Sayangnya banyak dari kita tidak mau repot, akibatnya ya perilaku buruk para penagih hutang itu tidak terkendali. Apalagi ketika pengawasan terhadap mereka pun tidak berjalan dengan baik. Harusnya pemerintah atau pihak terkait membuka hotline sebagai saluran pengaduan korban kekerasan, ancaman dan pelecehan oleh para penagih hutang. Jika bisa diverifikasi tindakan itu bisa dilaporkan kepada polisi atau lembaa pemberi pinjaman diberi sanksi.
Lebih sial lagi, ada teman kantor yang sudah pindah dan masih menunggak kredit tertentu, lalu aku yang duduk berdekatan dia – dan memakai ekstension telepon yang sama — beberapa kali kena semprot penelpon penagih utang. Nah, tadi pagi, aku kembali dikejutkan oleh sebuah panggilan yang kuangkat tanpa sempat kulihat siapa penelpon. Dan lelaki itu, tanpa babibu, langsung berbicara tanpa bisa dihentikan mirip para pekerja telemarketing itu – dan kadang tidak mempan ditolak dengan kata-kata halus.
“Kamu sudah berbuat mesum dengan pacar saya, kalau tidak segera mengirim uang lima ratus juta, Anda akan saya laporkan ke polisi dan foto-foto mesra Anda dengan pacar saya akan saya sebarkan lewat media sosial….,” begitu suara lelaki yang kuperkirakan berusia 20 tahunan di ujung telepon.
“Bung, pacar Anda yang mana? Siapa namanya?”
“Sudah, Anda jangan berlagak pilon.”
“Bukan berlagak pilon, Bung. Masalahnya saya punya banyak kawan perempuan. Saya tidak tahu pacar Anda yang mana?”
“Pokoknya kalau Anda tidak mengirim uang dalam dua jam ini sebanyak lima ratus juta, nanti siang foto-foto mesra itu akan beredar di Facebook.”
“Waduh, jangan begitu dong, Bung. Masa lima ratus juta. Memangnya Anda pikir cari duit gampang. Saya minta kepada Anda 1 juta saja belum tentu Anda kasih.”
“Anda maunya berapa?”
“Saya maunya tidak perlu bayar.”
“Anda jangan bercanda. Ini serius.”
“Saya juga serius lo, Bung.”
“Oke, saya turunkan jadi 400 juta.”
“Waduh, kalau segitu saya masih tidak kuat bayar, Bung. Ketinggian. Lagian sehebat apa sih pancar Anda. Jangan-jangan mungkin cuma sosialita kelas RT.”
“Anda pikir saya ini jualan cabe, minta kurang terus?”
“Dalam bisnis itu ada negosiasi, Bung. Anda kan sedang membisniskan pacar Anda.”
“Wah, Anda mulai kurang ajar ya.”
“Bukannya Bung yang kurang ajar?”
“Sudah, jangan banyak omong, mau bayar enggak?”
“Kalau segitu, saya tidak bisa bayar.”
“Anda tidak punya uang ya?”
“Lha, kalau pun punya uang, ngapain saya membayar 400 juta untuk urusan yang nggak penting begitu.”
“Anda meremehkan saya?”
“Saya tidak meremehkan Anda. Saya hanya bilang itu terlalu tinggi. Saya hanya mau bayar 100 juta. Titik.”
Senyap. Telepon terputus.
Lelaki muda penelpon itu tampaknya sedang berpikir. Aku mulai mengatur nafas. Aku sendiri merasa kenapa tawaranku itu terlalu tinggi. Kalau benar-benar harus membayar Rp 100 juta rupiah, tentu mobil minibus “sejuta umat” yang kupakai sekarang seperti kuserahkan mentah-mentah ke pemalak itu. Harusnya aku menawar 50 juta saja. Atau bahkan 10 juta, atau bahkan 500 ribu saja.
Sekitar 1 menit kemudian, telepon genggamku berbunyi lagi. Lelaki itu berujar lagi. “Saya hanya mau 200 juta. Tidak ada nego lagi. Kalau tidak mau bayar, nanti siang foto-foto mesra itu akan segere beredar di facebook.”
“Sabar dulu dong, Bung. Seratus juta rupiah itu duit lo, bukan daun. Untuk mendapatkan seratus juta, saya harus bekerja setengah tahun. Masa Bung dalam beberapa menit dengan cuma menelpon saya langsung dapat 100 juta, gak mau?”
“Saya tidak mau tahu.”
“Kalau tidak ya sudah. Saya tidak kuat bayar.”
“Kurang ajar!” Habis berkata begitu, lelaki itu menutup telepon. Tampaknya ia sangat marah.
Aku geleng-geleng kepala. Para pemeras itu terlalu kemaruk. Saking kemaruknya, uang seratus juta pun ditampiknya. Tapi aku yakin, ia akan menelpon kembali beberapa menit atau berapa jam kemudian. Ini hanya strategi dia untuk mengulur-ulur waktu. Mungkin ia juga berharap aku yang balik menelponnya saat-saat menjelang siang nanti, saat yang dikatakan akan menyebarkan foto-foto mesratku dengan pacarnya.
Benar pula, selang lima menit kemudian ia menelpon. Ia mengatakan: “Oke 100 juta. Saya tunggu sekarang.”
“Baik,” kata saya.
Tak lama setelah telepon ditutup, saya pun mengirim bukti transfer sms banking kepada orang itu senilai Rp 100.000.000, 00.
* * *
Pertama kali, aku menerima telepon dari penelpon gelap dua tahun lalu, sekitar pukul 02.00 dini hari. Penelpon mengaku aparat dari sebuah kepolisian resort. Ia mengatakan baru menangkap seorang perempuan kawan baikku. Nah, perempuan itu kedapatan membawa sabu-sabu di mobilnya dan diakui sebagai punyaku.
Aku diminta segera datang bertemu dengan orang itu di sebuah warung sekitar 500 meter dari kantor kepolisian tersebut sekaligus membawa uang damai Rp 50 juta. Namun, ketika aku tanya, siapa nama perempuan itu, orang yang mengaku polisi itu tidak mau menjawab. Dia hanya memperdengarkan suara perempuan yang tersedu-sedu sambil mengatakan, “Itu bukan punyaku, tapi punya temanku.”
Tidak begitu jelas suara siapa, karena diucapkan sambil menangis dengan mulut seperti ditutup. “Ya sudah pak, kalau tidak mau disebutkan namanya, saya tidak bisa melayani. Bisa saja dia mengaku-ngaku.”
“Tapi nama Anda benar Hendra dan ini nomor telepon Anda kan?”
“Nama dan nomor telepon kan dengan mudah bisa didapat. Tinggal lihat facebook saya, semua ada di situ. Dari nama, sekolah, nomor telepon, nama pacar, email, sampai hobi juga ada di situ. Yang jelas saya bukan pengguna narkotika, juga bukan bandar.”
“Kalau begitu berapa jam lagi Anda akan kami tangkap.”
Mendengar kata “tangkap”, aku langsung terlonjak. Aku sempat terdiam sesaat. Masalahnya, dalam dunia pemerasan, apa pun bisa terjadi. Bagaimana kalau benar-benar aku nanti dijebak oleh oknum-okum tak bertanggungjawab, lalu benar-benar ditangkap. Kalau itu terjadi, seluruh keluargaku bisa kecewa dan malu.
“Begini saja pak, bagaimana kalau saya bayar 10 juta. Tapi saya tidak mau datang ke sana. Saya akan bayar lewat transfer e-banking sekarang,” kataku.
Lelaki penelpon itu tidak segera menjawab. Namun aku mendengar ia seperti sedang berbisik-bisik dengan rekannya. Ada seseorang yang menyahut, “25 juta saja. Lumayan tuh.” Sementara perempuan itu masih terdengar sesekali sesunggukan.
Lalu, penelpon itu kembali berbicara. “Kalau 10 juta tidak sebanding dengan hukuman yang bakal Anda terima. Begini saja, Anda transfer Rp 25 juta, kawan Anda segera kami bebaskan.”
“Waduh pak, saya tidak bisa transfer uang sebanyak itu lewat e-banking. Batas tranferan saya sehari cuma 10 juta,” kataku mulai mencari-cari alasan.
Ia tidak langsung menjawab, tapi kembali berbisik-bisik dengan dua orang temannya. Aku sempat mendengar seseorang lain berbisik, “Ya sudah, terima saja 10.” Tiba-tiba aku menjadi lega. “Oke, 10 juta. Transfer sekarang. Ini nomor rekeningnya,” kata dia sambil menyebutkan nomor rekening sebuah bank.
Aku pun mencatat dengan seksama nomor rekening itu. Setelah percakapan berakhir, aku mengirim bukti transfer sms dengan tulisan Rp 10.000.000,00 kepada lelaki itu. Tak lama, dapat SMS: “Terima kasih atas kerja sama Anda. Rekan Anda segera kami bebaskan.”
Tapi aku tidak membalasnya. Aku langsung menarik selimut, tidur lagi. Ada mimpi yang buyar karena telepon lelaki sialan itu.
* * *
Telepon demi telepon gelap terus mengusikku. Beberapa kali mengganti nomor telepon juga tidak mempan. Ada saja cara para penelpon itu mendapatkan nomorku. Entah secara acak atau bagaimana, para telemarketer bank, asuransi, dan berbagai produk lain, termasuk pemalak, tahu saja nomor teleponku. Padahal nomor telepon di Facebook sudah kuhapus beserta beberapa data lainnya seperti alamat email dan alamat rumah.
Dan, ketika aku secara spontan mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelepon dan ternyata yang menepon adalah pemalak, rasa isengku kadang spontan tumbuh – terutama di kala senggang. Ya, untuk lucu-lucuan saja. Sekaligus memberi “hiburan” kepada para penelpon itu agar tidak terlalu tegang dalam menghadapi hidup – sampai harus memalak segala.
Aku tidak pernah benar-benar mengirimkan uang kepada mereka. Bukti transfer yang kukirimkan kepada penipu itu adalah template transfer sms banking yang ada di telepon gengam saya. Angka-angka di sana bisa dengan mudah diubah sesuka kita. [*]
Depok, Januari 2013
MUSTAFA ISMAIL