menulis

Menulis itu Semudah Bikin Surat

Pernahkah Anda menulis catatan surat atau harian? Jika iya, anda berbakat menjadi penulis. Sesederhana itu? Iya, memang sederhana. Menulis sebetulnya proses yang biasa saja, yang tidak jauh berbeda dengan berbicara. Bedanya hanya: jika berbicara kita tidak perlu menggunakan bahasa yang baku, bahasa formal. Kita bisa menggunakan bahasa gaul, prokem, dan lain sebagainya. Sedangkan menulis kita diikat oleh penggunaan bahasa yang formal, baku, dan memenuhi kaidah-kaidah tertentu dalam berbahasa, yakni tata bahasa.

Sedangkan dalam soal lain, misalnya struktur berfikir, sebetulnya sama saja. Berbicara atau menulis sama-sama membutuhkan penuturan yang runtut, sistematis, dan rasional. berbicara maupun menulis sama-sama menyatakan atau menyampaikan pendapat, ide-ide, kritik, uneg-uneg, aspirasi, khayalan (fiksi), dan sebagainya.

Tapi mengapa menulIs tampak sulit? Ini soal kebiasaan sebetulnya, juga keterampilan. Kebiasaan membuat orang terampil dan terasah. Itu tidak saja berlaku terhadap menulis, tapi terhadap semua hal. Berbicara pun sama, perlu terus mengasah kemampuan agar mampu menyampaikan dan menyatakan pendapat, pikiran, dan perasaan secara runtut, sistematis, dan komunikatif. Itu semua perlu latihan, tidak semata keterampilan bawaan sejak lahir. Tak kalah penting perlu menguasai bahan dan referensi.

Jadi menulIs bukan hal sulit. Menulis hanya perlu niat, tekat, dan semangat. Maka itulah, menulis bisa dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya menulis surat, email, catatan harian. Dari situ kemampuan menulis berkembang. Apalagi surat-surat yang ditulis mempunyai nilai yang menggugah. Lihat misalnya surat-surat Kartini yang mengungkap keterkungkungan perempuan.

Anda juga membikin surat seperti dilakukan Kartini: menyatakan dan mempaikan berbagai persoalan yang Anda hadapi kepada orang lain, apakah itu sahabat, teman baik, kenalan, saudara, sampai tetangga. Ungkapkan saja pikiran-pikiran Anda, perasaan, atau apa ja yang melintas di pikiran Anda. Jika Anda senang membaca, membaca apa saja, sisipkan saja bahan-bahan bacaan Anda ke dalam tulisan itu. Tentu bahan yang relevan dengan pokok persoalan yang Anda tulis.

Misalnya, Anda sedang menulis tentang nasib kaum Anda, perempuan, yang harus bekerja keras untuk menghadapi keluarga, sementara kaum lelaki tiap hari hanya asyik nongkrong di warung kopi. Dalam kasus itu Anda bisa misalnya menyisipkan dalil-dalil tertentu bahwa yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kehidupan ekonomi keluarga adalah laki-laki, suami.

Kutipan atau sisipan dalil seperti ini tentu sangat penting untuk memperkuat pikiran dan pendapat Anda, juga untuk mempertegas apa yang Anda sampaikan. Bisa pula anda mengutip ucapan kaum agamawan, juga mengutip ayat kitab suci dan ucapan para rasul. Referensi atau dalil-dalil tentang berbagai hal bisa Anda temukan di mana saja: dari Bacaan, ngobrol dengan teman, mendengar ceramah agama, dari radio, televisi, suratkabar dan majalah, dan seterusnya.

Untuk soal ini, sebagai catatan, penus memang harus senang mengamati sekitar, membaca buku, koran dan majalah, juga berdiskusi. Intinya memperbanyak Bahan untuk diceritakan atau dituliskan. Khusus untuk membaca, selain demi mengasah pikiran dan memperbanyak bahan, juga dapat menjadi media belajar bagaimana orang lain menulis. Logikanya begini: dengan membaca sebuah tulisan, secara sadar atau tidak kita akan belajar bagaimana tulisan itu dibikin, bagaimana struktur kalimat, bagaimana ia mengawali dan mengakhiri sEbuah tulisan. Ini sangat penting dalam proses belajar menulIs.

Ok, kini Anda telah mahir menulis surat, kini giliran mencoba menus pikiran dalam bentuk opini. Ini adalah tulisan yang mengungkapkan pendapat Anda terhadap suatu peristiwa. Boleh juga menulis cerpen. Prinsipnya sama dengan menus surat.

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: