cangpanah

Setelah Tagar #DeleteFacebok Lewat

Beberapa bulan lalu, salah satu “kelompok” yang mengkampanyekan #DeleteFacebook adalah para pengguna platform Steemit. Saya sebut “kelompok” (dalam tanda kutip) karena yang gencar melempar kampanye itu tentu saja tidak mengatasnamakan kelompok, tapi inisiatif orang-perorang yang sedang euforia dengan platform medsos baru itu. Mereka sedang merayakan mainan baru, apalagi mendapat reward dari menulis, meskipun kadang yang ditulis adalah “brus-brus utan”.

Sebenarnya kampanye itu didasari beberapa alasan. Pertama bocornya data pengguna Facebook yang digunakan untuk kepentingam politik oleh Cambridge Analytica, yang berafiliasi ke Donald Trump, Presiden Amerika Serikat. Parusahaan yang mengurusi kampanye Trump untuk pemilihan Presiden AS disebut di banyak media terindikasi kuat menggunakam data pribadi pengguna Facebook untuk kepentingan itu. Meski Cambridge Analytica membantah melakukan itu, namun para pengguna Facebook tak percaya begitu saja.

Brian Acton, Pendiri WhatsApp, yang sahamnya telah dibeli Facebook senilai $19 miliar,
ikut-ikutan berkampanye boikot Facebook ini. “Kita semua telah pindah dari MySpace. Kia juga bisa pindah dari Facebook,” ia menulis di akun Twitternya. Orang-orang dalam Facebook ikut-ikutan mengkampanyekan hal ini. Menurut sebuah survei, sekitar dua persen pegawai Facebook juga memutuskan menonaktifkan akun Facebook mereka.

Kampanye itu disebut-sebut membuat nilai saham di bursa sempat turun. Tapi apakah kampanye itu membuat orang (terutama yang terlibat kampanye) benar-benar menutup akun Facebook? Saya belum memeriksa lebih jauh. Tapi sekilas, orang-orang yang dulu memasang tagar #DeleteFacebook hingga kini masih menggunakan media sosial itu. Status-statusnya masih berseliweran di timeline, termasuk para pengguna Steemit. Banyak pengguna Steemit yang dulu mengkampanyekan boikot Facebook status-statusnya di media sosial itu masih berseliweran di beranda saya. Grup Steemit di Facebook juga masih ada.

Apa artinya? Kita suka latah saja. Latah ketika menghadapi sesuatu yang lagi ramai. Seperti disebutkan para sosiolog bahwa seseorang suka mengidenfikasi diri dengan sesuatu sebuah kerumunan yang menarik perhatiannya. Apalagi ketika kepentingannya “terpenuhi” dalam kerumunan itu. Saat sejumlah kepentingan bertemu, maka sebuah teriakan pun akan makin membesar. Tapi sebagai teriakan yang sporadis akibat kekecewaan sesaat, ketika capek tentu mereka akan berhenti dengan sendirinya tanpa perlu dikomando.

Jadi tidak perlu heran kalau “mereka” masih menggunakan Facebook. Kini pasti mereka lupa pernah menggunakan tagar #deletefacebook. Mungkin juga pura-pura lupa. Tapi terpenting jangan sampai lupa riang gembira. Hahaha.

DEPOK, 29 Juli 2018
MUSTAFA Ismail
@musismail

SUMBER FOTO UTAMA:
The Telegraph.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: