Trienggadeng
Jika Anda melintas di jalur pantai utara (Pantura) Aceh dari Banda Aceh ke Medan atau sebaliknya, singgahlah sebentar di Trienggadeng. Apa istimewanya? Tidak terlalu istimwewa, tapi jika Anda singgah cukup membuat Anda kangen untuk singgah lagi di lain waktu.
Trienggadeng punya pantai yang indah. Anda bisa singgah di pantai di daerah Peurade yang dibangun sebagai tempat wisata — dengan warung-warung dan saung-saung untuk melepas lelah. Ada beragam masakan di sana. Anda bisa makan sambil isrirahat memandang laut. Lokasi wisata itu letaknya di daerah Peurade, sekitar 200 meter sebelum pasar kecamatan (dari arah Banda Aceh) atau 200 meter setelah pasar kecamatan Trienggadeng (dari arah Medan).
Di Pasar Kecamatan sendiri, ada masakan khas yang terkenal sejak dulu. Namanya tirom. Dulu tirom paling enak tersedia di Warung Makan Mak Jah. Saya gak tahu apa nama warung itu sekarang. Mungkin di banyak warung di sana juga tersedia tirom tumis. Enak sekali. Beda sekali rasanya dengan tumis tirom dari daerah lain. Sehingga Trienggadeng sangat cocok sebagai destinasi untuk singgah dalam perjalanan ke Banda Aceh atau ke Medan.
Rumah saya, tempat saya tinggl sejak masa kecil, tak jauh dari Pasar Trienggadeng, di Desa Meue. Kini rumah itu tidak ada siapa-siapa. Kosong. Dulu, tahun 2000 ayah, ibu dan adik saya “mengungsi” ke Jakarta karena konflik. Ayah (Ismail Aly) meninggal di Jakarta enam tahun kemudian, tepatnya pada 2006 di Rumah Sakit Fatmawati. Beberapa tahun setelah ayah tiada, ibu dan adik saya pulang lagi ke rumah itu di Trienggadeng. Pada Mei 2015, ibu meninggal.
Tahun lalu, adik saya satu-satunya, Mutia Andayani, pun meninggal. Ia ditemukan di Pantai Ladong dengan tubuh merah darah dan luka di beberapa bagian tubuhnya. Sampai sekarang kasusnya nasih gelap. Tragis sekali kematiannya. Ia sempat bolak-balik tinggal di Jakarta dan Triemggadeng. Tapi akhirnya dia lebih memilih pulang ke rumah. Rumah kami yang sederhana berada sekitar 100 meter dari bibit pantai. Rumah yang tiap malam mengirimkan suara debur ombak ke dalam tidur kami.
Puisi di bawah ini saya tulis pasca gempa Pidie Jaya pada Desember 2016? Puisi itu terkumpul dalam buku “6,5 SR Luka Pidie Jaya” yang diterbitkan Imaji Indonesia dan diluncurkan di sebuah kafe di Jakarta pada 20 Februari 2018. Penerbitan buku yang menghimpun puisi para penayair Indonesaa dan negara tetangga itu bermula dari obrolan di grup WA Ruang Sastra, yang beranggotakan sektar 250 sastrawan Indonesia dan negeri tetangga.
Mari simak saja puisi saya tentang Trienggadeng berikut ini.
Mustafa Ismail
TRIENGGADENG
di pasar kecil itu pohon sala melambai-lambai
dengan tatapannya yang membuai
dengan senyumnya yang ranum
seperti cinta yang dikulum
meneduhkan rambutmu dari matahari
menjadi rumah bagi pelangi
tapi subuh itu pohon sala melambai-lambai
daun-daunnya berguguran
karena tanah berderak,
bergerak, berdetak
sebelum meunasah menggemakan azan
sebelum kau bangun dari mimpi yang riang
tiang-tiang patah, dinding rebah, atap goyah
menimbun tubuhmu yang payah
matahari pecah!
kakimu berdarah!
melebur bagai lautan es
meneteskan dari matamu yang jengah
o kampung yang rebah
desa yang pecah
bangunlah!
kita kembali berlari
mengumpulkan keping-keping matahari
menjadi jalanan dan rumah-rumah.
Jakarta, 27 Desember 2016
*****
MUSTAFA ISMAIL
musismail.com
@musismail
FOTO UTAMA:
Jalo (perahu) di Pantai Trienggadeng. (MI)