Ketika Warung Mie Aceh Berjajar di Kepahiyang
Saya sama sekali tidak mengira akan menemukan warung mie Aceh di sebuah kota kecil yang berjarak dua jam perjalanan dengan kendaraan umum dari Bengkulu, tepatnya di Kepahiyang, Bengkulu. Cerita dimulai ketika saya dan Ketua Panitia Festival Sastra Bengkulu Willy Ana @willyana hendak mengantarkan surat dan rekomendasi PLT Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, agar Bupati Kepahiyang, Hidayatullah Sjahid, dapat menerima dan memfasilitasi kedatangan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia berwisasta budaya ke daerah itu.
Emong Soewandi, sastrawan dan seniman setempat, memperkenalkan kami kepada Bapak Edy Subagiya, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bengkulu. Kami lalu saling berkontak dengan Pak Edy, yang belum pernah kami kenal sama sekali, apalagi bertemu. Kami berangkat dari Bengkulu sekitar pukul tujuh malam. Saya menyetir mobil rental menembus jalanan yang bekelak-kelok dan naik-turun ke Kepahiyang.
Festival Sastra Bengkulu 2018 yang diadakan pada 13-15 Juli 2018 di Bengkulu mengagendakan wisata budaya sekaligus baca puisi di kebun teh di Kebawetan, Kepahiyang. Kami ingin Pak Bupati menyambut dan menjamu para sastrawan. Singkat cerita, malam itu (Rabu, 11 Juli) kami buru-buru ke Kepahiyang. “Saya tunggu di Mie Aceh depan pom bensin,” kata Pak Edy melalui telepon kepada Willy Ana. Di perjalanan, saya meyahut, jangan-jangan Bang Emong Soewandi yang mengabari bahwa saya dari Aceh. Makanya Pak Edi mengajak bertemu di warung Aceh.
Sebelum saya lanjukan, perlu dimaklumi bahwa saya (MUstafa Ismail) lahir di Aceh pada tahun ….. (coba tebak!). Setelah menamatkan kuliah manajemen di Banda Aceh, saya pergi ke Jakarta untuk mengikuti sebuah acara sastra yakni Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki. Sejak itu saya tidak pulang. Saya menjadi warga Depok — kebetulan rumah saya masuk wilayah Depok. Jadilah saya warga urban.
Nah, setiap menemukan sesuatu berbau Aceh di sejumlah daerah yang saya kunjungi, saya merasa begitu bangga. Saya begitu ingin berbincang dengan penjual makanan Aceh, di mana pun bertemu di luar Aceh. Begitu tiba di pom bensin di Kota Kepahiyang, saya mencari-cari di mana Pak Edy. Celakanya, warung mie Aceh di sana tidak hanya satu. Jika tak salah ingat, ada lima sampai enam warung mie Aceh dalam jarak berdekatan berada di satu jalan itu.
Kami mencari-cari di salah satu warung mie Aceh dengan percaya diri. Pak Edy yang menunggu bersama isterinya berdiri ketika kami turun dari mobil. Tampaknya ia yakin kami adalah tamunya. Duduk pada sebuah meja dengan kursi plastik, saya memesan mie Adeh. Tak lupa, saya berbincang dengan penjualnya, yang sudah belasan tahun merantau di sana.”Saya ke sini ketika konflik,” kata salah soerang penjual.
Soal rasa, tidak perlu ceritakan karena tiap warung pati berbeda. Namun yang jelas mie Aceh yang kami pesan malam itu enak, meskipun agak pedas — itu selera masing-masing. Saya hanya ingin memastikan benarkah Bang Emong yang memberi tahu bahwa saya orang Aceh. “Tidak. Bang Emong belum cerita apa-apa soal Pak Mus,” ujar Pak Edy, “Kami memang sedang duduk dan ngopi di sini.”
DEPOK, 21 Juli 2018
MUSTAFA Ismail
FOTO:
kapucinoku.blogspot.com