menulis

Tamu dari Gontor hingga Gairah yang Berhenti | #RiwayatKreatifMI 2

Suatu kali, rumah karib ayah tempat saya menumpang di Ketapang, Banda Aceh, kedatangan tamu dari sebuah pesantren modern di wilayah kabupatan Pidie. Sang tamu seorang pengajar di pesantren itu. Kami sempat mengobrol ke sana-kemari. Lulusan sebuah pesantren moderen terkenal di Jawa Timur, Gontor, itu bercerita tentang puisi dan suka menulis puisi.

Ia bilang bahwa menulis puisi itu bisa mendapatkan uang. Kalau dimuat di koran atau majalah ada honornya. Lumayan. Bisa menambah uang jajan atau mentraktir teman. Mendengar kata “uang” semangat saya untuk menulis puisi menjadi menggebu-gebu.

Ini menarik, pikir saya. Saya segera membayangkan sebagai anak kost dan jauh dari orang tua pastilah tambahan jajan itu sangat menyenangkan. Maka itu, esoknya di sekolah saya mulai mencari-cari majalah dan koran yang ada rubrik puisi. Selain membaca-baca puisi di halaman koran dan majalah itu, saya juga mencatat alamatnya untuk mengirimkan puisi saya.

Sejak itu, semangat saya menulis puisi tak kira-kira. Setelah puisi-puisi itu saya tulis lalu saya kirimkan ke media. Tulis tangan, tentu. Kala itu, saya belum punya mesin tik. Dan, simsalabin, semua puisi itu….. tak satu pun dimuat! Setelah beberapa kali mengirim dan tak ada kabar baik apalagi balasan, saya menjadi malas. Semangat saya jatuh. Luruh. Mungkin semacam putus asa.

Ternyata mendapatkan uang dari menulis puisi itu tidak semudah yang diceritakan. Tidak semudah yang dihayalkan. Akhirnya saya melupakan puisi. Meskipun tidak mudah. Soalnya, saya masih bersurat-suratan puisi dengan seorang ‘kawan’ lain sekolah di Banda Aceh yang satu kelas di atas saya. Hampir setiap hari. Energi saya untuk menulis “puisi” luar biasa. Maka tak salah orang bilang bahwa perempuan adalah salah satu sumber inspirasi puisi.

Benar pula bahwa puisi adalah “mainan” orang kasmaran. Mungkin itu pula yang menyebabkan Chairil Anwar punya banyak teman dekat perempuan. Dari Ida, Mirat, Dien Tamaela sampai Sri Ayati. Ispirasi menulis puisi tidak hanya hadir ketika sedang kasmaran, juga ketika mengalami “masalah” dengan mereka.

Namun beberapa waktu kemudian acara berbalas puisi itu berhenti. Saya lupa penyebabnya. Tapi puisi tak benar-benar pergi dalam keseharian saya. Di sebuah acara pramuka di sekolah, saya masih ikut membaca puisi. Juga saat mulai kuliah di STIEI (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia) Banda Aceh pada 1989, saya membaca puisi di acara orientasi mahasiswa baru. Bahkan, di akhir orientasi, saya didaulat memimpin renungan dan berhasil membuat mereka nangis-nangis dengan kata-kata puitis.

Rupanya pengalaman membaca puisi di kampus itu menjadi titik awal saya kembali menggeluti puisi. Selanjutnya, saya bergabung dengan Teater Bola pimpinan Junaidi Yacob dan Pungi Arianto Toweran. Saya sempat beberapa kali mentas di Banda Aceh dan Takengon, Aceh Tengah. Namun saya merasa tidak cocok menjadi aktor alias pemain teater, lebih cenderung menjadi penulis, khususnya penulis sastra.

BERSAMBUNG…..

MUSTAFA Ismail
musismail.com
@musismail

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: