Menyesal Hingga Akuntansi | #RiwayatKreatifMI (1)
SAYA tidak pernah menampik bahwa pada awalnya menulis puisi adalah hobi. Juga tidak perlu sewot kalau ada yang me-ngatakan bahwa menulis puisi kegiatan orang kasmaran. Pun tak usah uring-uringan bila diledek bahwa menulis puisi untuk mendapatkan uang. Faktanya memang demikian. Bahkan sah saja bila ada orang menulis puisi demi mendapatkan ketenaran.
Saya sendiri menulis puisi dimulai dari iseng: mencatat sesuatu yang tak perlu, sesuatu yang entah apa dan buat apa. Rumah saya, di sebuah desa kecil berjarak sekitar 150 kilometer dari Banda Aceh, berada sekitar 200 meter dari bibir pantai. Tiap saat, suara ombak menyerbu ke dalam hari-hari saya, ke dalam malam-malam saya, bahkan ke dalam mimpi-mimpi saya. Sering kali — pagi, siang, atau pun sore – saya bersama teman-teman bermain-main di pantai.
Nah, malam-malam, saya suka menuliskan tentang pantai, laut, atau pengalaman-pengalaman lainnya ke dalam puisi. Kadang, bersama teman-teman kecil yang sering ngumpul di rumah, kami “berlomba” menulis puisi. Kala itu saya duduk di bangku SMP, tapi saya tidak ingat persis di kelas berapa.
Tapi sungguh, pada saat itu, belum tahu mengapa menulis puisi atau menulis sesuatu yang puitis, termasuk apa itu puisi. Mungkin juga saya menulis untuk gaya-gayaan. Puisi bagi saya hanya corat-coret di buku catatan sekolah. Bukan sesuatu yang penting. Apalagi membayangkan bahwa suatu saat saya akan menjadi penulis puisi profesional.
Saya memang suka membaca. Tapi bacaan saya biasa-biasa saja layaknya bacaan anak-anak lainnya, seperti komik, majalah anak, dan buku cerita. Saya tidak ingat pernah membaca karya pengarang siapa saja. Karya-karya sastrawan yang namanya ada di buku pelajaran pun tidak semuanya saya baca.
Untuk puisi, salah satu karya yang paling saya ingat berjudul Menyesal karya Ali Hasjmy, sastrawan pujangga baru yang pernah menjadi Gubernur Aceh. Puisi lainnya yang saya ingat ya karya Chairil Anwar yang kesohor itu, yakni Aku. Lainnya saya tidak ingat. Setidaknya tidak membekas di ingatan saya. Jadi, saya bukanlah penggila sajak.
Puisi-puisi saya baca karena tugas sekolah alias bagian dari pelajaran. Apalagi, guru yang mengajarkan sastra di sekolah saya – seperti juga di sebagian tempat masih terjadi kini – adalah guru bahasa Indonesia. Bukan ahlinya mengajar sastra. Sang guru hanya membaca sesuai teks di buku pelajaran. Sehingga saya tidak tergugah untuk jatuh cinta pada sastra.
Hanya puisi Menyesal yang sangat menancap dalam ingatan saya. Lain tidak.
Baris yang paling saya ingat dari sajak itu: …. pagi ku hilang sudah melayang, hari mudaku sudah pergi/Kini petang datang membayang/ Batang usiaku sudah tinggi…
Puisi itu amat terkenal sekaligus menggugah. Boleh jadi karena menggugah itu makanya banyak anak yang mudah menghafal puisi itu. Ia tidak seperti puisi Aku Chairil Anwar yang lebih cenderung mengemukakan sikap personal. Adapun puisi Menyesal bicara hal sangat universal. Terasa “kita banget”. Sehingga puisi itu tidak hanya dibacakan saat pelajaran atau di depan kelas, juga sering dibacakan dalam berbagai lomba baca puisi, termasuk pentas seni.
>
Menyesal
>
>Pagiku hilang sudah melayang,
>Hari mudaku sudah pergi
>Kini petang datang membayang
>Batang usiaku sudah tinggi
>
>Aku lalai di hari pagi
>Beta lengah di masa muda
>Kini hidup meracun hati
>Miskin ilmu, miskin harta
>
>Ah, apa guna kusesalkan
>Menyesal tua tiada berguna
>Hanya menambah luka sukma
>
>Kepada yang muda kuharapkan
>Atur barisan di hari pagi
>Menuju arah padang bakti.
Tapi bukan karena sajak itu saya kemudian terus berlanjut menulis puisi. Ceritanya begini. Setelah sudah lulus SMP di kota kecil kelahiran saya di Trienggadeng, Kabupaten Pidie (kini Pidie Jaya), saya hijrah ke Banda Aceh. Saya menumpang di rumah sahabat ayah, M Thaib Ali, di daerah Ketapang.
Saya tertarik masuk STM jurusan elektronika. Saya mulai senang elektronika sejak SMP dan suka megutak-atik peralatan elektronik rusak serta beberapa percobaan ringan. Adapun ayah menginginkan saya melanjutkan sekolah bidang tata buku (akuntansi). Ayah saya seorang ‘praktisi’ tata buku – seorang abdi Negara. Ayah ingin saya kelak bekerja di bank atau tempat-tempat lain yang ada kaitannya dengan keuangan.
Nah kedua sekolah itu ada di Banda Aceh. Ayah saya juga dulu sekolah tata buku di Banda Aceh. Saya mendaftar di STM jurusan elektro, tapi saya lupa apakah lulus atau tidak. Tapi yang pasti kemudian saya sekolah di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) Negeri Banda Aceh di Lampineung, bersebelahan di STM. Bahkan, kantinnya dipakai bersama.
Saya masuk di jurusan akuntansi. Saya pun menekuni bidang baru yang belum saya kenal. Tapi saya “berhasil” menikmatinya. Bahkan sangat menikmatinya. Asyik juga. ***