Ketika Pelaku Sastra Gigit Jari Selesai Acara
>Dunia sastra sering diwarnai dengan kegiatan yang mengundang pengisinya secara gratisan. Acara pembacaan puisi, sangat sedikit yang memberi pengganti ongkos angkutan, apalagi honor. Sebagian media pun masih abai memperhatikan hak penulis sastra.
Mustafa Ismail, pegiat sastra dan penulis buku cerpen “Lelaki yang Ditelan Gerimis” (2017).
Sastra termasuk bidang seni paling buram dalam soal standar pendapatan bagi pegiat-pegiatnya. Tidak seperti seni rupa yang pelakunya bisa hidup layak, bahkan sangat makmur, pelaku-pelaku sastra hanya bisa mengandalkan “upah” tak seberapa dari karya-karyanya yang dimuat di media, royalti buku atau undangan sebagai pengisi acara, entah menjadi menjadi narasumber atau membaca karya. Lagi-lagi, nilai upah itu tidak seberapa.
Padahal, sastrawan atau pelaku sastra, sebagaimana pekerja bidang lain, tentu saja membutuhkan upah layak. Sastrawan tidak hanya butuh makan, juga butuh perangkat lain untuk berkarya, seperti mesin tulis, buku-buku, riset di perpustakaan, hingga kuota internet. Sastrawan juga tidak mungkin berkarya dengan perut keroncongan atau pikiran terpecah karena tidak punya cukup uang untuk beli beras untuk anak-isterinya di rumah.
Seputar Honor
Dunia sastra sering diwarnai dengan kegiatan yang mengundang pengisinya secara gratisan. Contoh, misalnya acara pembacaan puisi, sangat sedikit yang memberi pengganti ongkos angkutan (biaya transport) kepada pengisinya, apalagi honor. Hanya beberapa penyair yang bisa bernegosiasi dengan penyelenggara acara untuk mendapatkan honor yang pantas.
Publik masih memperlihatkan pemahaman keliru terhadap kegiatan sastra seperti baca puisi. Ada kesan kegiatan menulis dan membaca puisi merupakan kegiatan “hobi-hobian”. Bahkan ada penyelenggara acara seolah-olah justru merasa menyediakan panggung kepada sastrawan. Celakanya pelaku sastra tidak berani bertanya tentang pengganti transportasi, apalagi honor itu.
Rasa sungkan berlebihan membuat penulis sastra harus gigit jari setelah acara selesai. Parahnya, para pengundang pun sering tidak memberi tahu di awal bahwa kegiatan tersebut tidak berhonor alias gratisan. Saling diam semacam itu membuat masalah ini seolah menjadi “tahu sama tahu” bahwa sastrawan tidak (terlalu) menuntut honor.
Barangkali ada semacam anggapan bahwa sastrawan adalah makhluk idealis yang buat mereka honor bukan segala-galanya. Terpenting mereka bisa menyampaikan gagasan dan ungkapan estetiknya kepada publik. Nah, ini yang kemudian diterjemahkan oleh para pengisi acara bahwa: “pelaku sastra diberi tempat untuk baca puisi saja sudah sangat senang”.
Mereka lupa bahwa untuk tiba di tempat kegiatan, sastrawan tidak naik sajadah Aladin tapi naik angkutan berbayar.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di pentas sastra. Juga di panggung diskusi, seminar, workshop, lomba, dan lainnya yang mengundang sastrawan sebagai narasumber. Saya sendiri beberapa kali mengalami kejadian ini ketika diundang menjadi pemateri seminar dan diskusi hanya diberi plakat dan “bingkisan”.
Ketika pengalaman tak dibayar ini penulis sampaikan di media sosial, banyak pegiat sastra menimpali dengan aneka pengalaman serupa. Ada yang cuma diberi bingkisan (kaos atau lainnya), honornya disunat, tak sesuai kesepakatan, dan banyak yang cuma dapat ucapan “terima kasih”. Ada pula sastrawan yang menjadi juri lomba menulis tentang sebuah negara, pemenangnya melawat ke negara itu, namun jurinya hanya dapat sertifikat. Kondisi diperparah dengan sikap sastrawan yang “maklum” dan sering mencari alasan pembenaran.
Tak hanya di acara-acara sastra, sebagian media pun masih abai memperhatikan hak penulis sastra. Misalnya koran-koran daerah. Selain honor kecil, masih banyak yang honornya Rp 100.000 untuk satu cerpen, puisi dan esai, sebagian media itu enggan mengirimkan honornya. Penulis sastra harus sibuk menghubungi mereka untuk meminta honor dikirimkan. Media yang memberi honor layak dan tertib membayarnya sedikit jumlahnya.
Merujuk semua hal itu, tampak betul penghargaan terhadap pelaku sastra rendah. Maka itu, sastrawan perlu melakukan upaya untuk memberi nilai pada karya dan kreativitasnya. Sebelum memenuhi mengisi acara, perlu bertanya secara detil soal pengganti ongkos, honor, dan akomodasi jika acara itu lokasinya jauh dari rumahnya atau di luar kota.
Tak ada salahnya sastrawan berkiblat pada manajemen pelaku dunia hiburan, seperti artis, penyanyi, hingga tukang sulap atau badut. Meskipun pelaku hibutan kelas kecamatan, mereka punya tarif untuk sekali tampil. Jangan mudah terharu ketika diajak baca puisi karena sikap “gampangan” seperti itu bisa melanggengkan rendahnya penghargaan terhadap pelaku sastra. Intinya, jangan mudah mengobral gratisan.
Intinya, jangan sampai sastrawan dan pegiat sastra harus gigit jari setelah acara bubar. ***
MUSTAFA ISMAIL
musismail.com
@musismail
#bacapuisi #sastra #sastraindonesia #honor2m #honorsastarwan #sastrawan
FOTO ILUSTRASI: Penyair Sulaiman Juned membaca puisi.