esai

Mudik, Eksitensi Diri dan Jebakan Industri

>Orang tiap tahun berduyun-duyun pulang kampung ketika Lebaran. Apa yang mereka cari? Masih pentingkah mudik?

Seharusnya, mudik – dalam konteks Lebaran – tidak relevan lagi. Sebab, sudah tersedia banyak waktu lain, juga cara lain, untuk bersilaturrahmi. Teknologi transportasi dan komunikasi memungkinkan orang untuk pulang kampung kapan saja. Angkutan umum, terutama pesawat terbang, membuat seseorang bisa berpindah dari kota ke kampung dalam sekejab dan kembali lagi bisa kembali ke kota pada hari itu juga.

Teknologi komunikasi juga bisa memungkinkan orang untuk bertemu setiap saat dengan saling menelpon, SMS, mesanger, dan berjejaring sosial.

Maka istilah “kota” dan “kampung” pun tidak bisa lagi diletakkan secara berseberangan. Dulu kampung atau desa dikontruksikan sebagai sebuah wilayah yang jauh, sulit dijangkau, tradisional, kehidupan yang sulit, sebagian penduduknya miskin, bahkan sebagian terbelakang. Sementara kota dipahami sebaliknya.

Kini batasan-batasan kampung dan kota telah runtuh. Secara geografis, desa memang berada di seberang kota, tapi secara kultural kota maupun desa kini tak punya batasan lagi. Apa yang kini terjadi di kota dalam saat bersamaan bisa langsung diketahui di desa. Televisi bisa menghadirkan budaya urban langsung ke ruang keluarga orang-orang di desa. Bahkan, jejaring sosial bisa lebih cepat melakukan transfer informasi ke seluruh dunia.

Maka bukan hanya kampung dan kota yang kini makin tak punya jarak secara kultural, juga antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lain. Dalam konteks ini mudik Lebaran menjadi lemah urgensinya. Yang sesungguhnya terjadi adalah perayaan momentum, ketimbang substansi mudik yakni silaturrahmi. Orang-orang lebih sebagai merayakan mudik, bukan merayakan Lebaran, apalagi merayakan silaturahmi.

Perayaan momentum ini beorientasi pada pesta. Ada mitos-mitos yang bermain di sini. Mitos itu dikontruksi oleh cara berpikir yang dikembangkan oleh masyarakat sehingga kemudian diterima sebagai kebenaran. Maka mudik seolah menjadi keharusan. Dalam masyarakat kini, mudik dipahami secara sangat eksistensial. Mudik adalah salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi diri.

Maka, dalam prosesi mudik yang ditonjolkan adalah kesuksesan, bukan ketidaksuksesan. Baik pemudik maupun keluarga pemudik di kampung berada dalam gelombang persepsi yang sama: mengkampanyekan kesuksesan. Sudah pasti, kesuksesan itu ditandai dengan benda-benda seperti mobil, pakaian, perhiasan, penampilan, asesoris, termasuk alat komunikasi, sampai cara bertutut dan berbahasa. Sehingga mudik adalah sebuah karnaval yang panjang.

Mitos mudik ini langgeng juga didukung oleh industri. Sebab, para pemudik adalah pasar potensial dari barang dan jasa mereka. Mereka pun menciptakan mitos-mitos baru dalam memasarkan produk lewat iklan-iklan secara massif. Mereka masuk ke alam bawah sadar masyarakat bahwa dengan menggunakan produk mereka – sebut saja mobil merek X – akan membuat kelas sosial mereka menjadi lebih tinggi.

Begitu pula produsen pakaian, perhiasaan, alat komunikasi – semua berebut untuk membentuk “kebenaran-kebenaran” yang melambungkan masyarakat agar orang memakai produknya. Dari sini lahir pula mitos lain bahwa mudik adalah pertarungan identitas. Identitas seseorang akan dikontruksikan oleh benda-benda yang mereka gunakan. Tidak sekedar benda-benda baru, juga merek akan ikut menentukan identitas mereka. Merek menunjukkan kelas sosial seperti apa mereka.

Kontuksi semacam inilah yang membuat orang-orang bekerja keras di kota bukan cuma untuk mengumpulkan uang demi kesejahteraannya sendiri, tapi sekaligus demi penegasan identitas di kampung.

MUSTAFA Ismail
musismail.com
@musismail

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: