Jangan Cepat Patah Hati Menulis Puisi
Temans, kalau mengirim puisi ke media (koran, majalah dsb) — termasuk antologi puisi — puisi-puisinya digabungkan dalam satu file saja. Jangan satu puisi dijadikan satu file sehingga kalau mengirim 20 puisi menjadi 20 file. Itu sangat merepotkan editor/kurator untuk membukanya satu persatu untuk membaca puisi Anda.
Terus, satu lagi, jangan baru ngirim lima kali lalu patah hati karena gak dimuat. Kirim terus. Penyair yang sudah punya nama pun belum tentu semua puisinya dimuat ketika dikirim ke media. Juga tidak perlu sebentar-bentar kirim pesan SMS/WA ke editornya apakah puisinya bisa dimuat atau tidak. Sabar saja. Kalau sudah lebih tiga bulan tidak dimuat, ya bisa diperbaiki dan dikirim ke media lain.
Intinya jangan cepat patah hati. Lalu berhenti menulis puisi. Jadilah petarung, bukan pencundang apalagi pencengeng (ada gak ya pencengeng, haha). Belajar lagi. Lagi. Lagi. Baca puisi-puisi yang lolos kurasi di media. Pelajari bagaimana ia menulis puisi. Pelajari bagaimana ia menggoreng kata. Memilih diksi, simbol dan metafora.
Juga memilih tema. Jelajahlah tema-tema baru, yang jarang disentuh orang atau penyair lain. Kembali ke akar budaya masing-masing salah satu hal yang patut Anda pertimbangkan. Sebab, tema itu pastilah sangat Anda kuasai. Dengan demikian Anda bisa menulisnya dengan sangat mendalam. Tidak permukaan.
Soal diksi, simbol dan metafora, juga pilihlah sesuatu yang baru. Jangan lagi menggunakan hal-hal yang sudah usang. Diksi atau simbol daun, bulan, laut, gunung, dan seterusnya itu sudah banyak yang nulis. Apa lagi yang istimewa? Kecuali Anda berhasil meramu diksi/simbol-simbol usang itu dengan cara yang baru, itu boleh saja.
Jika tidak berhasil “merekontruksi” diksi dan simbol itu dengan cara baru, ya tak usah dipaksakan. Galilah simbol-simbol baru. Contohnya seperti Afrizal Malna dulu menggali simbol-simbol dari dunia urban: kaleng coca cola, kafe, ayam goreng dari Amerika, elevisi, obat, sikat gigi, televisi, toko, bank, hotel dan seterusnya.
Seperti Joko Pinurbo menggali simbol-simbol sehari-hari, misalnya celana, jendela, sarung, gentong, pohon beringin, dan sebagainya. Semua ditulis pula dengan gaya sehari-hari dan rada-rada nakal. Seperti Sutardji Calzoum Bachri berangkat dari mantra. Seperti Chairil Anwar mendobrak gaya berpuisi penyair sebelumnya.
Seperti itulah kebaruan. Seperti itulah kreativitas. Inti kreativitas itu adalah menjelajah dan menemukan hal-hal baru. Bukan memungut hal yang telah usang, apalagi mengekor. Carilah hal-hal baru untuk puisimu. Tapi tentu saja, Anda harus paham dan khatam dulu apa itu puisi. Anda harus pegang betul apa itu konsep puisi. Itu petanya. Jangan pula menjelajah tanpa peta, Anda akan kesasar.
Ini sekedar berbagi gagasan dan pengalaman saja. Terserah mau mendengarnya atau tidak. Yang penting Anda berpuisi dengan hepi, bukan mengejar gelar penyair atau agar bisa ikut acara sastra itu-ini. Anda dikenang karena karya, bukan karena berapa ribu kali Anda membaca puisi atau mengikuti acara/pertemuan sastra terkemuka.
Sekali lagi: menulislah dengan asyik dan riang gembira.
#statusisengbanget.#janganbaper
Jakarta, 18 Juli 2017
MI