Puisi Odong-odong dan Odong-odong Puisi
Banyak yang “baper” pada status saya tentang Puisi dan Odong-odong di akun Mustafa Ismail. Makanya saya posting ulang status itu di akun saya Mustafa Ismail II ini — siapa tahu berguna. Tapi satu hal ingin saya permaklumkan: status ini saya tulis bukan “sebagai kesombongan atau bentuk keangkuhan”. Tidak sama-sekali. Saya menulis status ini untuk mengajak kita berpikir dan terus belajar. Tidak cepat puas. Tidak cepat merasa besar.
Saya tak gemar bilang “bagus” atau memberi like kecuali memang menemukan “sesuatu” yang bagus dan menarik. Sebab mengobral kata “bagus” bisa berakibat tak baik. Orang yang dipuji “bagus”, “keren” dan seterusnya itu bisa lupa diri, tak mau belajar lagi dan merasa apa yang ditulisnya benar-benar sudah bagus. Maka hanya yang benar-benar menarik baru saya like dan puji. Maafkan saya.
Saya sendiri terus belajar hingga detik ini untuk menjelajah dan masuk ke dalam lorong-lorong pengetahuan yang tak terbatas. Dan saya terus merasa tak ada apa-apa dalam penjelajahan itu. Jadi tak perlu baper atau menuduh saya angkuh. Satu lagi: tak perlu bawa nama tempat kerja saya karena tak ada kaitannya. Status saya di media sosial murni pendapat pribadi saya.
Kalau ada yang mau ngajak diskusi sambil ngopi akan disambut dengan gembira. Salam puisi selalu. Berikut status yang (mungkin) bikin baper itu.
* * * * *
PUISi DAN ODONG-ODONG
Sebagian dari kita suka terburu-buru dan gegabah mengklaim/meyakini kata-kata yang kita tulis menyerupai bentuk puisi itu sebagai puisi. Sama seperti kita mengkalim apa yang berbentuk mobil itu sebagai mobil — padahal itu adalah odong-odong. Ini terjadi karena kita tidak memahami apa itu puisi. Tidak mau belajar, tak mau membaca, enggan memperluas pengetahuan dan referensi, bahkan malas membaca puisi para penyair yang sudah diakui kualitas karyanya.
Kita hanya membaca puisi-puisi teman kita yang sama-sama “sangat mualaf” dalam menulis puisi, yang sama-sama meyakini (atau mengira) bahwa odong-odong adalah mobil. Satu lagi: kita juga malas beli buku sastra. Maunya diberi gratis! Kita menginginkan sesuatu tapi malas berkorban untuk itu. Kita bernafsu menjadi penyair tapi tak mau berkeringat untuk belajar.
Ketika ada yang mengkritisi lalu kita ramai-ramai membantahnya. Ramai mencela si pengkritik dan menganggap si pengkritik itu sirik. Kita lupa bercermin, lupa berkaca, benarkah yang kita tulis itu puisi. Bagaimana caranya? Tembuslah tembok kurasi yang digawangi oleh orang-orang terpercaya, bukan mereka yang pintar memuji “bagus” ala Pak Tino Sidin.
Semua itu pilihan sih. Kita bebas memilih mau jadi naik mobil odong-odong atau mobil beneran. Tapi harap diingat: naik odong-odong itu tak akan membuat kita beranjak dari tempat semula. Kita hanya berputar di situ-situ saja. Maka itu pilihlah naik mobil beneran yang bisa membawa kita ke mana-mana.
Salam puisi selalu.
MI