Puisi di Media Indonesia: Hujan Sampai Sabang
Sungguh, lumayan lama saya tidak menulis puisi. Lalu tergerak lagi (dan kangen) menulis puisi saat ada beberapa acara pertemuan sastra pada 2016. Tidak bisa dipungkiri bertemu teman-teman penulis (sastra) dan terus merawat komunikasi dan silaturahmi akan sekaligus merawat semangat kita menulis. Tiga puisi yang dimuat di Media Indonesia hari ini (Minggu, 4 Juni 2017) adalah puisi-puisi saya masa “belajar kembali” menulis puisi.
Penulisan puisi, cerpen dan esai memang sudah saya tekuni sejak awal 1990, tapi di sela-sela itu ada beberapa jeda (tidak menulis dalam waktu yang lama) sehingga ketika menulis seperti memulai dari awal. Yang sekarang belum berhasil mengembalikan semangat menulis cerpen dan esai. Puisi sudah berhasil saya jinakkan kembali.
Berikut puisi saya yang dimuat di Media Indonesia itu.
MANTRA HUJAN
Seseorang muncul dari tengah hujan:
bergaun hitam motif Krawang Gayo,
bergerak di tengah kerumunan orang,
di antara pohon-pohon kopi yang berputik
Akulah Puteri Bensu, katamu,
datang dari tengah hutan,
membawa payung-payung besi
Menanti Malim Dewa
Menyemai benih-benih kopi
menyiramnya dengan air Danau
dan di tepi Renggali
Ikan-ikan depik tak henti bernyanyi
Mulutnya komat-kamit
menyemburkan aroma Arabika
kental dan wangi
Matanya secerah pagi
Tapi hujan tak juga berhenti
“Mengapa mantraku jadi beku?”
Di Seladang, daun-daun kopi kuyup
didongmu meletup-letup
Kau lalu melompat ke pucuk pohon
memetik beberapa buah kopi
lalu menyemburkannya dengan puisi
Hujan mendadak berhenti.
Bener Meriah, 26 November 2016
SABANG
dari taman di tepi laut ini: suara perahu mesin hijau
menembus hingga ujung pulau
seorang perempuan muda berdiri di tepi menanti sang lelaki kembali
membariskan sisa-sisa mimpi
di sebuah rumah kecil sudut lain
anak-anak memasak buku-buku sekolah yang kusut dan rusak
kapal-kapal datang dan pergi
mengangkut kota-kota dari segenap pojok bumi: harum dan wangi
mereka mendaki bukit-bukit dan menulis nama masing-masing
di kilometer nol dengan tinta merah
dan kau menggigil membayangkan
pohon-pohon memerah dan memuncratkan getah darah
hingga malam jatuh dan ombak berhenti berdebur:
kau hanya menulis sepotong surat cinta
yang tak pernah kau tahu harus mengirimnya ke mana
alamat telah rusak dan kapal-kapal sudah bertolak
kau hanya bisa memandang buritan diselingi peluit yang melengking
arloji telah hanyut, air mata telah kering
Sabang, 29 Nov 2016
BAYANGAN
seseorang datang dalam tidurku
lalu meninggalkan bibir busuknya di gelas minum kita —
aku bukan perempuan bermata merah, katamu,
yang selalu meracau tentang pulau-pulau
aku pun bukan juliet, katamu,
tak mampu membentengi tidurku dengan cahaya matamu
aku adalah camar-camar yang selalu terbakar
ketika menemukan ikan-ikan menggelepar di pantai
dan gelas minum kita makin busuk
meski bermili-mili aroma terapi kita semprotkan
Tangsel, 1 Desember 2016