esai

Membaca Hasyim

OLEH: Mustafa Ismail

Pernahkah Anda ke Meulaboh dalam era 1970-an? “Ada lima raket penyeberangan kalau kalau kita ingin mencapai Meulaboh, dan akan berjumlah delapan rakit kalau terus ke Tapaktuan,” begitu sastrawan Hasyim KS menuliskan gambaran masa lalu daerah pantai barat dalam cerpennya berjudul /Lewat Meulaboh/.

Hasyim tidak sedang menulis reportase jurnalistik, tapi sebuah cerita fiksi yang dibalut dengan pemandangan nyata: terminal Seutui yang semraut, jalanan ke arah pantai barat yang rusak-berlobang, bus yang harus antri di rakit penyeberangan — bahkan sampai berjam-jam jika air sungai sedang deras dan meluap, jalanan yang melilit sepanjang pantai, Gle Ceudah, tanjakan Geurutee, dan sebagainya.

Bahkan, ia tidak sekedar menggambarkan pemadangan itu, tapi juga mempersoalkan. “Kiranya jalan yang beraspal mulus hanya mampu diberikan pada jalan-jalan dalm kota dan sedikit di pintu masuk kota. Jalan ke jurusan pantai barat ini dari tahun ke tahun begitu saja. Tidak semujur jalan ke jurusan timur yang berstatus sebagai jalan pemerintah pusat.”

Saya yang tidak pernah melintasi jurusan pantai barat pada “era raket” itu bisa membayangkan bagaimana “melelahkan” menempuh perjalanan di jurusan pantai barat—dari Banda Aceh ke Meulaboh sampai Tapaktuan. Hasyim berhasil menghadirkan sebuah gambaran yang menggugah tentang sebuah keadaan, yang buat banyak orang, sungguh menggelisahkan.

Itu ditambah lagi dengan endingnya yang sungguh mengejutkan: bus yang ditumpangi oleh tokoh aku dalam cerpen itu, kemudian terjun ke jurang. Hanya dua orang kernet yang sempat melompat menyelematkan diri. Selebihnya, termasuk seorang gadis yang duduk di sebelah tokoh aku, tidak dapat diselamatkan. Jelas, dengan ending ini Hasyim ingin mempertegas kondisi perjalanan yang parah itu.

Buat saya, cerpen ini cukup kuat menggambarkan sebuah era. Karya sastra memang tidak selalu bermain dengan imajinasi, juga mencatat fakta-fakta nyata yang berseliweran, yang dilihat, didengar, maupun dirasakan pengarang. Ia menyuguhkan gambaran sejarah, meskipun tidak bisa digolongkan sebagai catatan sejarah.

Dan Hasyim membuka mata dan hatinya untuk menyerap berbagai persoalan itu, yang secara sadar atau tidak, berinteraksi dengan hari-harinya. Boleh jadi, fakta yang dicatat adalah hal biasa pada suatu masa, tapi pada masa lain menjadi sesuatu yang luar biasa. Boleh jadi pula, hal yang dicatat hal biasa bagi sebagian orang, tapi bagi orang lain adalah sesuatu yang luar biasa.

Gambaran perjalanan jurusan pantai barat, misalnya, mungkin dulu hal biasa bagi yang kerap menempuhnya. Tapi menjadi tidak biasa bagi orang lain yang tidak pernah menempuhnya pada masa itu, bahkan menjadi tidak biasa bagi orang-orang yang lahir pasca era itu di wilayah pantai barat itu sendiri. Mereka pastilah tidak merasakan bagaimana melelahkan, bahkan mungkin mendebarkannya, melintasi pantai barat.

Sebagai sastrawan, Hasyim punya kekhasan sendiri: ia menyuguhkan potret realistik dari sebuah kenyataan. Cerpen-cerpennya bergaya realis. Membaca cerpen-cerpenya, kita seperti menonton sebuah tayangan gambar yang hidup, sebuah film, dan sebuah sikap pengarang yang termaktub dalam karya itu.

Tapi satu hal: selalu, dalam cerpen-cerpennya ia menyuguhkan kejutan-kejutan. Ia sadar betul pada daya tarik cerita: konflik, drama, suspens, dan kejutan. Itu membuat cerpen-cerpen Hasyim susah ditebak endingnya, bahkan pembaca merasa “tertipu” dengan ending itu.

Salah satu contoh kejutan itu adalah pada cerpen di atas, /Lewat Meulaboh/. Contoh lain, yang juga menyuguhkan sebuah kejutan yang sangat kuat adalah /Di Mulut Lorong/. Cerpen itu mengisahkan seorang suami yang marah karena isterinya diselingkuhi orang. Lalu, pada suatu malam, sang suami menunggu lelaki yang memacari isterinya itu, Matrokan, di mulut lorong rumahnya. Sebuah belati dipersiapkan.

Lalu, ketika ada seseorang yang terbungkuk-bungkuk datang ke rumahnya dan memanggil istrinya dengan sangat mesra di malam itu, ia pun cepat bertindak: menghujamkan belati ke punggung lelaki itu. Lalu, ia pun pergi menyerahkan diri ke kantor polisi. Di kantor polisi itulah, ia mengetahui bahwa yang ia tikam itu adalah bapak mertuanya, yang datang untuk mengabari bahwa ibu mertuanya sedang sakit.

Cerpen ini, tidak hanya berhasil dalam aspek cerita, juga mampu menyuguhkan ketegangan dengan sangat baik. Buat saya, sebagai pembaca, ini adalah salah satu cerpen terbaik Hasyim. Dalam cerpen ini ia betul-betul membuat pembaca sampai “terduduk lemas”, karena mengetahui bahwa yang dibunuh itu adalah mertua sang tokoh aku itu sendiri. Ia betul-betul mengaduk-aduk perasaan pembaca.

Banyak persoalan hidup yang diangkat Hasyim dalam cerpen-cerpennya, terutama persoalan-persoalan sosial. Itu sangat kental dalam cerpen, semisal, /I am Sory/, yang memaparkan kisah seorang Nancy yang terpaksa menjadi pelacur karena masalah ekonomi, atau cerpen /Perempuan itu / yang memperlihatkan perubahan sosial dengan “budaya” apel pada orang pacaran yang sudah menggejala (di Aceh) pada awal 1970-an.

Cerpen lain yang menyuguhkan potret sosial, dan sangat karikaturis, itu misalnya Nguyen Pola dan Paul John, yang pernah dia bacakan sendiri dalam satu even sastra Aceh di Teater Utan Kayu, Jakarta, 2002 lalu. Cerpen Paul John mengisahkan seorang asing, Paul John, yang terheran-heran karena begitu mudahnya mendapatkan minuman keras di Tanah Serambi Mekkah itu.

Untuk merespon konflik, terutama di Aceh, pada 2001, ia menulis sebuah cerpen berjudul /Bingung/. Ini menceritakan tentang kebingungan malaikat mengurus banyaknya orang mati. Dan mereka yang mati itu tidak sesuai jadwal yang ditentukan untuk mati.

Dengarkan kata-kata Malaikat dalam dialog dengan para orang mati yang menunggu tempat di alam sana. “Ya. Mereka yang mati di bumi dan disediakan tempat di alam barzah tersebut adalah mereka yang mati menurut jadwal. Dalam buku ini telah ada nomor urutnya. Yang kacau dan membingungkan kita adalah nomor ini tidak berurutan lagi. Mereka datang berbondong-bondong.”

“Ternyata mereka-mereka di bumi yang bernama Indonesia itu ada yang tak beres. Siapa tahu, mereka potong kompas melaksanakan kematian-kematian di luar jadwal. Itu artinya telah melangkahi wewenang kita,” sambung Malaikat. Tentu itu sebuah ungkapan yang sangat kritis untuk merespon apa yang terjadi di Aceh khususnya, juga daerah-daerah lain yang dilanda konflik.

Hasyim adalah seorang sastrawan yang lengkap. Selain menulis cerpen, ia juga menulis puisi dan novel. Novelnya, “Bertarung di Batas Langit”, pernah dimuat bersambung di Serambi Indonesia. Cerita bersambung itu menyuguhkan potret sosial lewat pengembaraan seorang tokohnya bernama Daud Beurawang.

Dalam bidang perpuisian, ia penyair dengan pola ungkap yang sangat khas. Puisi-puisinya yang bernuansa lirik dan romantik itu sangat kuat. Tampak sekali ia begitu menghitung kehadiran setiap kata dalam sajak-sajaknyanya. Ia tidak banyak bermain-main dengan kata, tapi memperlakukan kata dengan sangat serius dan efektif untuk mengantarkan apa yang ingin disampaikannya.

Sayangnya, tak banyak karyanya yang muncul di forum luar Aceh. Ia termasuk sastrawan yang jarang mempublikasikan karya-karyanya di media-media nasional. Buat saya, karya-karya Hasyim KS baik puisi, cerpen maupun novel bisa berdiri sejajar dengan karya-karya penyair Goenawan Mohammad, Sapardi Joko Damono, cerpenis Hamsad Rangkuti, AA Navis, dan lain-lain.

Sayangnya lagi, hingga kini, tak ada karyanya yang terbit menjadi buku. Bahkan, terkesan, sebagai sastrawan ia kurang mendapat penghargaan. Padahal, ia tidak hanya berjasa dalam dunia sastra dengan karya-karyanya yang kuat, ia juga seorang guru bagi para banyak sastrawan di Aceh. Lewat ruang budaya yang diasuhnya di beberapa koran yang terbit di Aceh, terakhir di Serambi Indonesia, ia mendorong lahir dan berkembangnya banyak sastrawan muda.

Lebih jauh lagi, lewat rubrik “Apit Awe” yang pernah muncul di Serambi Indonesia tiap hari, ia telah merawat dan mengangkat kembali kosa kata Aceh lewat pantun, hiem, ungkapan-ungkapan dan percakapan tokoh dalam “Apit Awe” itu. Dari kolom kecil itu pula, kita bisa merumuskan sosok Hasyim yang sesungguhnya: orang yang sangat kaya dengan referensi, termasuk referensi foklor Aceh, dan sangat peka dengan berbagai persoalan yang muncul di masyarakat dan negeri ini.

Jakarta, 30 Januari 2007

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: