Uber, Grab, Ojek versus Kendaraan Pribadi
Angkutan umum di kota-kota besar kini makin memudahkan. Di Jakarta, misalnya. Pilihan orang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain makin beragam, dan nyaman, tentu. Mulai dari kereta commuterline, bus transjakarta alias busway, kopaja dan metromini ber-ac, hingga “taksi” aplikasi dengan harga jauh di bawah taksi konvensional hleingga ojek berbasis aplikasi yang argonya tidak main tembak.
Di jajaran taksi aplikasi, misalnya, antara lain ada Uber dan grabcar. Untuk ojek online lebih ramai: selain ada gojek yang lebih dulu hadir, juga ada grabbike, Taksi Jeger, Bluejek. Uber pun kemudian meluncurkan Uber Motor. Terbabu, kini adalah Adajek yang diluncurkan awal Juni. Adajek tak hanya menyasar pengguna telepon genggam. Siapun bisa menyetop mereka di jalanan, tidak harus pesan lewat aplikasi.
Nah, dengan segala kemudahan itu, masihkan kita membutuhkan kendaran pribadi? Mari kita berhitung. Seorang pengguna mobil yang tinggal di daerah Serpong atau Pamulang dan bekerja di kawasan Sudiman, Jakarta, rata-rata membutuhkan Rp 150.000 setiap hari untuk bensin mobil, tol dan parkir. Jika dikalikan 25 hari kerja maka ia membutuhkan biaya tranport sekitar Rp 3.750.000 sebulan.
Bagaimana jika ia naik kereta commuter line? Mari kita hitung. Ongkos ojek dari rumahnya ke stasion kereta dengan jarak 10 kilometer sekitar Rp 15.000 (pakai ojek aplikasi) dan bolak-balik artinya Rp. 30.000. Lalu, naik kereta Commuterline dari Serpong ke Tanah Abang (Rp 2000) dan Tanah Abang ke Sudirman (Rp.2000) sehingga semuaya Rp. 4.000 x 2 (PP) = 8.000. Jadi uang transpor yang dikeluarkan sekiar 38.000.
Pilih mana? Saya pribadi sejak beberapa tahun terakhir sudah memarkir mobil dengan manis di rumah dan hanya dipakai sesekali saja. Ada beberapa keuntungan yang saya dapat dengan “mengkarantina” mobil di rumah. Pertama, saya tidak kelelahan menyetir. Tinggal duduk. Bahkan, kalau lagi ngantuk, bisa memejam mata di dalam kereta. Kedua, lebih cepat tiba karena kereta anti macet. Ketika, tentu saja hemat biaya.
Bahkan, saya berpikir, sebetulnya kita sudah tidak perlu punya mobil. Mengapa? Dari pada memelihara mobil, mendingan kita menyewanya saja atau naik taksi aplikasi. Jauh lebih hemat. Barangkali tidak ada salahnya kita membandingkan: mana lebih hemat memelihara kambing dibandingkan dengan membeli sate? Jelas, lebih hemat membeli sate. Tinggal datang, duduk, pesan, makan, bayar, pulang. Tak perlu melakukan menyediakan kandang, membeli umpan, mengongkosi dokter, hingga membayar orang untuk menjaganya (asuransi, dll).
Rata-rata biayar perawatan plus pajak mobil setahun lebih dari Rp 5 juta. Padahal hanya kita pakai seminggu sekali. Itu belum lagi uang muka pembelian, cicilan + bunga, hingga bensin, tol, parkir. Mungkin sebagian orang berpikir membeli mobil sekalian menabung. Tentu saja itu keliru. Pertama, mobil adalah barang yang penyusutannya sanga tinggi, 10-20 persen pertahun. Mobil yang Anda beli sekarang Rp 200 juta boleh jadi lima tahun lagi hanya laku dijual sekitar Rp 100 juta. Jadi kelau menabung lebih baik beli emas atau tanah atau properti.