esai

Kantor Tak Selebar Daun Kelor

Ini tulisan lama saya. Artikel ini dimuat di rubrik Periskop Koran Tempo, Jumat 26 MARET 2004. Tulian ini bisa dibaca di link ini — http://koran.tempo.co/konten/2004/03/26/9951/Kantor-Digital — namun sayangnya, Anda harus login dulu untuk bisa masuk ke artikel ini. Maka itu, saya posting kembali tulisan ini agar kita bisa mendiskusikannya: masih perlukah kantor dan kita tiap hari menembus waktu dan kemacetan demi tiba di kantor?

Saya melihat, kantor digital alias officeles, kini makin relevan diterpkan. Ini adalah pilihan yang sangat rasional, praktis dan efisien. Kita bisa berkantor di mana-mana, dari warung kopi, tepi pantai, sebuah puncak bukit, atau di sebuah desa yang sejuk. Ya, kantor tidak selebar daun kelor.

Berikut tulisan saya soal ini…..

Periskop

Kantor Digital
Mustafa Ismail.

Sebetulnya hari ini kita tidak perlu ke kantor. Musim kampanye begini,
jalanan terlalu macet. Terlalu melelahkan. Bukan hanya hari ini, sejak
kemarin-kemarin sampai seterusnya, mestinya kita tidak perlu sering ke
kantor. Tidak perlu tiap hari. Terlalu melelahkan, menghabiskan banyak
energi, juga boros. Bukan kita saja yang boros, kantor juga ikut boros.

Itu kalau kita setuju hakikat ke kantor tak lain untuk menyelesaikan segala
pekerjaan, termasuk tandatangan ini-itu, rapat, juga konsultasi dengan
atasan. Kita bisa membangun kantor sendiri di mana saja, misalnya di rumah,
ada di sebuah tempat yang sejuk dan menyenangkan—–di Puncak, contohnya.
Cuma dibutuhkan sebuah perangkat standar: komputer dan saluran telepon.

Apa pun profesinya, tak soal. Sebab semuanya bisa dikerjakan secara digital.
Memeriksa keuangan, pembayaran, membikin surat penawaran, janji ketemu
relasi bisnis, menulis laporan, tanda tangan ini-itu, sampai rapat pun bisa
dilakukan secara jarak jauh. Hanya membikin kopi saja —- bagi office boy
— yang tidak bisa dilakukan jarak jauh. Di luar itu, semuanya bisa
dilakukan tanpa harus bertemu muka.

Teknologi memang menyuguhkan kemudahan tak terkira, mempercepat pekerjaan,
menghemat waktu, juga menekan biaya. Tak percaya. Mari kita coba simulasikan
berapa biaya kerja seseorang ke kantor, mulai berangkat dari rumah sampai
tiba kembali di kantor. Sebut saja, seseorang yang tinggal di Bogor,
setidaknya ia butuh Rp 10 ribu untuk biaya pulang pergi, itu belum termasuk
makan dan sebagainya.

Kantor juga bukan tak mengeluarkan biaya. Bukan saja yang terkait langsung
dengan pekerjaan mereka: biaya listrik, komputer, telepon, kertas, juga
hal-hal pendukung lainnya. Misalnya, kantor mesti menyediakan office boy,
cleaning service, air, meja kursi, dan sebagainya. Perusahan juga mesti
mengeluarkan uang untuk menyewa ruang kantor yang besar.

Hitung saja berapa biaya yang harus dikeluarkan. Coba kalau semuanya
dikerjakan dari luar, kantor hanya perlu mensubsidi stafnya untuk membayar
telepon, paling-paling kalau perlu meminjamkan komputer. Bila pekerjaan
lebih banyak memakai internet, tinggal berlangganan internet kabel atau
wireless internet, habis perkara. Berapa lama pun internet dipakai, bayarnya
tetap Rp 150 ribu sampai Rp 350 ribu sebulan.

Teknologi memang menyajikan banyak kemungkinan agar kita tidak terkungkung
dalam rutinitas. Internet dan alat-alat komunikasi, misalnya, makin membikin
waktu menjadi begitu lapang. Orang bukan saja tidak perlu ke kantor, juga
tidak perlu antri di ATM, apalagi di depan kasir bank, karena semua itu bisa
dilakukan di rumah lewat internet, atau pun di jalan, lewat telepon genggam.

Kantor tinggal menyediakan sistem yang memungkinkan karyawan bekerja di mana
saja, termasuk mengakses bahan-bahan pekerjaan, tanpa dibatasi oleh jarak
dan waktu. Sehingga, seorang karyawan bisa saja bekerja sambil santai
bercelana pendek di rumah, di tempat kos, atau di tempat yang jauh, pagi
maupun tengah malam. Penilaian kualitas, produktivitas dan kondite karyawan
didasarkan pada sejauh mana ia mampu memenuhi target-target atau standar
yang telah ditetapkan.

Terpenting, kejelasan sistem dan aturan-aturan yang bisa membikin pekerjaan
bisa diselesaikan sesuai jadwal. Orientasinya pada output, hasil, dan
deadline, bukan pada kehadiran. Mungkin ke kantor cukup beberapa kali saja
dalam seminggu. Selebihnya, pekerjaan bisa dilakukan dari mana saja, mungkin
dari sebuah kafe, sehabis bertemu rekan bisnis, klien, atau sumber. Atau
dari lobi sebuah gedung kesenian, sehabis menonton sebuah pertunjukan. Atau
pun mungkin dari sebuah warnet dekat rumah pacar.

Kantor digital, sebutlah begitu, memang masih terlalu utopis untuk
dibayangkan sekarang. Itu mengingat banyak pekerjaan di kantor masih
dikerjakan secara manual dan belum semua orang akrab dengan komputer dan
internet. Di samping memang budaya kerja yang selalu harus di bawah
pengawasan dan kita terlanjur mempersepsikan tempat kerja itu harus di
kantor, ketemu atasan, rekan kerja, juga bawahan.

Sebetulnya, itu soal kebiasaan, yang tidak terlalu sulit untuk dirombak.
Sebuah perusahaan yang berorientasi ke depan, dengan penekanan pada
efisisensi dan efektivitas kerja, berkantor secara digital bukan tidak
mungkin dilakukan. Paling tidak, pelan-pelan, itu bisa diuji cobakan.
Sehingga, kita tidak perlu tiap hari terjebak di kemacetan atau membayar
joki untuk menemani di kawasan three in one.

pamulang, 100304

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: