Sehari Menulis 15 Puisi?
Sudah lama saya tidak bertemu Apa Maun. Malam ini saya kaget, tiba-tiba satu gerbong dengan saya di kereta Commuterline jurusan Tanah Abang (Jakarta) – Serpong (Tangerang Selatan). “Ho trep that hana deuh keuh Nyak Muih,” tanya Apa Maun. Maksudnya, kemana saja selama ini kok lama sekali tidak bertemu. “Peue sibok that?” Tanyanya lagi. Apakah sibuk sekali?
“Hana sibok. Biasa lagee nyoe sabe. Jak cot uroe woe watee cot buleuen,” kata saya. Maksudnya, pergi siang hari lalu pulangnya tengah malam. “Apa ho deuh chit?”
Apa ke mana saja selama ini.
“Saya lagi sereng bolak-balik u gampong. Sekarang saya membantu kawan jadi agen percetakan. Peue na rencana peuteubiet buku puisi baro?” Maksudnya, apakah ada rencana mengeluarkan buku puisi baru?
“O hana. Pane puisi ta peuteubiet. Ka trep hana kutuleh puisi.” Sudah lama saya tidak bikin puisi.
“Kenapa?”
“Saya merasa puisi yang saya tulis begitu-begitu saja. Tidak ada kebaruan. Jadi lebih baik saya tidak menulis dari pada meutuleh broh-broh uteuen.” Broh artinya sampah.
“Kenapa bisa begitu?”
“Adakalanya memang seorang kreator kering ide. Mati angin. Atau jenuh. Atau terlalu sibuk. Atau tidak bisa menemukan hal baru dalam karyanya. Pada saat begitu lebih baik banyak mengamati, banyak berpikir, banyak merasa, banyak membaca dari pada banyak menulis.”
“Waduh, Gata beda that ngon aneuk keumuen lon. Ijih siuroe 15 boh puisi dituleh. Rata ureueng ditag bak Facebook.” (Kamu beda sekali dengan keponakan saya. Dia menulis 15 puisi sehari. Semua orang ditag puisinya di Facebook).
“Kalau puisinya bagus mengapa tidak?”
“Panee… bagus. Meubak koran di gampong jareueng dimuat. Peue lom bak koran Jakarta. Untong na Facebook na pat pasoe.” Maksudnya, siapa bilang bagus. Di koran lokal saja jarang dimuat, apalagi koran Jakarta. Untuk ada Facebook bisa diposting di Facebook.
“Mungken tangeh semangat. Jangan patahkan semangat orang yang sedang bersemangat.”
“Kon kupatahkan semangat. Masalah jih han ditem belajar lee. Dipikee droe ka penyai rayek that. Nyan bak jak dilak-lak droe ka talo Rendra.”
“Hahaha…. Paken lagee nyan neupeugah?”
“Nye hai. Tunu teuh. Watee ta peugah hana dideungo. Bek bagah puas ka dimuat saboh-dua boh puisi bak Serambi.”
“Nyan goh lom meuphom jih. Dipike jeuet teumuleh puisi untuk meugaya.”
“Seminggu lalu dia menelpon saya minta tolong dibantu terbitkan puisi-puisi dia yang sering dimasukin ke Facebook itu. Kalau cetak bisa saya bantu. Tapi apakah na soe baca puisi lagee nyan? Bek peuabeh-abeh peng hana meuho.”
“Bukan begitu Apa. Bikin puisi itu memang proyek rugi. Tidak ada yang untung.”
“Kalau itu saya tahu. Maksud saya puisi dia itu belum layak diterbitkan. Masih terlalu mentah. Itu bukan kata saya, tapi kata seorang penyair di Taman Budaya, yang puisinya banyak di muat koran nasional. Saya minta pendapatnya bagaimana kualitas karya aneuk keumuen saya itu. Penyair itu bilang ia masih perlu banyak belajar.”
“O begitu ya.” Hmm. “Maaf Apa, saya sdh harus turun nih. Sudah tiba di Stasiun Rawabuntu. Saleuem keu aneuk keumuen droe neuh.”
“Oh jeuet. Sampoe meureumpok lom.”
MI | Depok, 24 Maret 2016