Taksi Online versus Taksi Konvensional, Kok Ribut?
Perubahan adalah Keniscayaan.
Masih ingat pager? Itu lho, alat yang bisa menerima pesan namun si pengirim pesan harus menelpon operator untuk menitip pesan itu. Alat itu sangat populer di awal-awal hingga akhir 1990-an. Ketika saya mulai menjadi jurnalis di Jakarta pada 1997, pager adalah andalan utama untuk menerima pesan dari kantor ke mana kami harus bergerak meliput. Kala itu, kemudian, saya tidak hanya punya pager, juga punya sebuah perangkat telepon genggam yang hanya bisa menghubungi, tapi tak bisa menghubungi. Namanya Telepoin.
Namun, sinyal Telepoin itu sangat terbatas, hanya ada di tempat-tempat tertentu. Biasanya diberi plang bahwa di area itu ada sinyal Telepoin. Nah, begitu saya ada keperluan dengan seseorang, urusan pekerjaan maupun pribadi, saya tinggal angkat telepon lalu menghubungi operator pager dan mengirim ke pesan. Tapi, sekitar 1998-1999, telepon genggam alias HP mulai banyak di pasaran. Lalu pelan-pelan handphone menguasai pasar dan pager tertinggal. Sebagian perusahan pager mengalihkan bisnisnya ke bidang lain.
Tidak ada ribut-ribut. Semua berlangsung secara dialektis dan wajar. Meskipun jelas, dari sisi bisnis, perusahaan pager dirugikan. Hadirnya telepon genggam menggusur teknologi pager. Hmm, tadi dalam sebuah obrolan, seorang kawan menyelutuk, mengapa dulu perusahaan pager tidak ramai-ramai demo ketika hadirnya telepon genggam? Sekilas, itu sebagai lelucon. Tapi “gugatan” itu benar. Apakah perusahaan pager lebih siap berinovasi dan bisa lebih sadar bahwa perubahan adalah keniscayaan.
Oke, memang tidak bisa dibandingkan secara “jeruk to jeruk” antara kedua kasus itu. Sebab, masing-masing bisnis punya karakteristik sendiri. Tapi satu hal yang ingin saya katakan: mbok ya (setiap orang maupun tiap perusahaan) sadar bahwa perubahan itu tidak bisa ditolak. Perkembangan teknologi tidak bisa dihentikan. Hal itu juga berpengaruh pada bisnis, baik dari sisi model, layanan, hingga cara-cara memuaskan konsumen. Bahkan, bukan tidak mungkin sebuah bisnis — karena perubahan secara signikan dalam teknologi — terpaksa berhenti dan beralih ke jenis lain. Contohnya pager tadi.
Saya kira, kisruh antara taksi atau angkutan berbasis aplikasi atau teknologi informasi dengan yang konvensional mesti dilihat dalam kacamata demikian. Ini tidak melulu soal aturan yang dilanggar hingga untung-ruginya bisnis, tapi harus dilihat dalam perspektif bahwa “perubahan itu adalah keniscayaan”. Semua orang harus sadar akan perubahan. Dari sisi aturan, misalnya, bisa saja diubah. Sebuah aturan dibikin untuk menyelesaikan persoalan pada kurun waktu tertentu, bukan untuk menyelesaikan persoalan selama-lamanya. Ketika perubahan terjadi peraturan pun harus disesuaikan.
Toh, peraturan bukanlah kitab suci. Jadi tidak ada salahnya dibikin aturan baru atau setidak-tidaknya direvisi (diamandemen) demi mengakomodasi atau menyesuaikan dengan perubahaan. Lalu, bagaimana nasib bisnis lama? Ya, lagi-lagi kita harus merujuk pada perubahana itu sendiri. Artinya, perusahaan-perusahan yang terimbas oleh perubahan (teknologi, misalnya) harus cepat sadar tentang acaman itu. Bukannya menghadang ancaman, tapi mencari cara bagaimana menjinakkannya. Dalam kasus taksi online, misalnya, tidak ada salahnya taksi-taksi konvensional menyediakan mobil-mobil berplat hitam untuk dijadikan taksi.
Perusahaan-perusahaan taksi itu tidak dilarang untuk membikin perusahan taksi atau ojek online untuk bersaing dengan taksi dan ojek online yang sudah ada. Bahkan, bukan tidak mungkin, dengan infrastruktur yang mereka punya (semisal jaringan di berbagai kota) bisa membuat mereka lebih cepat maju ketimbang Grab dan Uber. Tentu saja ada hambatan-hambatan dan tidak semudah yang dibayangkan, apalagi semudah diomongkan. Namun itulah seninya hidup, itulah seninya bisnis. Hidup itu tidak selalu mudah. Bisnis tidak selalu mudah. Selalu ada romantika yang harus dihadapi.
Dari pada menolak perubahan, apalagi dengan cara anarkis, lebih baik perubahan itu dijadikan tantangan untuk melahirkan inovasi-inovasi baru sehingga bisa bersahabat dan berdamai dengan perubahan. Sebuah usaha bisa terus eksis dan bersaing apabila ia memenuhi sejumlah syarat, antara lain, pertama, layanan. Kedua, inovasi. Ketiga: Harga. Nah, mari tanya kepada diri sendiri: apakah ketiga hal itu sudah dipenuhi.
Apakah layanan semakin baik? Apa inovasi yang membuat Anda punya keunggulan kompetitif? Apakah harga cukup bersahabat? Sekian. Selamat sore. Selamat ngopi.
Jakarta, 22 Maret 2016
MUSTAFA ISMAIL
============
NOTE: Bagi yang ingin mencoba naik Uber, silakan menggunakan kode promo di bawah ini. Coba dulu, ajak drivernya ngobrol, baru kemudian memberi penilaian atau komentar: Kode Promo alias gratis naik UBER senilai Rp 75 ribu: mustafai32ue atau daftar lewat https://www.uber.com/invite/mustafai32ue
============