PMTOH
Sesungguhnya ini nama bus. PMTOH adalah bus jurusan Banda Aceh-Medan-Jakarta, hingga Solo, Jawa Tengah. Namun nama itu menjadi nama salah satu jenis kesenian di Aceh, yakni seni tutur atau peugah haba. Tentu saja tidak ujuk-ujuk. Gara-garanya, Tengku Adnan, seorang seniman tutur di Aceh kerap mengutip klakson bus itu dalam pertunjukannya. Jadilah kesenian yang dibawakannya menjadi PMTOH dan nama Tengku Adnan ditambahkan dengan kata PMTOH di belakangnya sehingga menjadi Teungku Adnan PMTOH.
Saya kerap menonton jenis kesenian itu ketika kecil, malam-malam. Teungku Adnan kerap berpentas di sebuah lapangan, bermalam-malam. Ratusan orang dari berbagai kecamatan tumplek ke sana. Mereka mendengar cerita hikayat Malem Dewa yang dibawakannya. Mereka baru pulang ketika malam telah larut dan nama hari telah berganti. Tak kenal ngantuk. Selain sangat memikat, itu adalah salah satu hiburan — di samping sandiwara dan seudati — di kampung.
Sambil duduk Teungku Adnan tidak sekedar bercerita. Ia juga memanfaatkan benda-benda untuk memvisualkan cerita itu: ada patung, senapan, terompet, selendang, topi baca, dan sesungguhnya. Nah, ketika memencet terompet itulah Teungku Adnan menirukan suara bus PMTOH. Seorang antropolog Amerika Serikat, Profesor John Seger, menggelari Adnan sebagai trobadur dunia. Itu karena kecepatan dan kepiawannya bercerita, bahkan menangkap gagasan spontan menjadi bagian dari cerita (improvisasi).
Sayangnya, ia tidak punya penerus yang sebanding. Ada beberapa nama, seperti Muda Balia, namun ia belum mencapai tahap kemahiran dan kedahsyatan Teungku Adnan. Ada pula Agus Nur Amal, seniman jebolan Institut Kesenian Jakarta. Namun Agus tidak meneruskan tradisi yang dibawakan Teungku Adnan. Justru, ia melahirkan “varian” baru dari kesenian itu. Bukan meneruskan PMTOH seperti halnya dilakukan Teungku Adnan.
Agus ber-PMTOH dengan cara berbeda: memakai bahasa Indonesia dan menggunakan benda-benda sehari-hari untuk visualisasi cerita, bukan miniatur dari benda sesunguhnya. Agus menggunakan bak mandi bayi sebagai lautan, gayung sebagai pesawat, kantong kresek sebagai awan, dan sebagainya. Sebagian orang menyebut karya Agus adalah PMTOH modern. Meskipun, seperti halnya Teungku Adnan PMTOH, Agus juga digelari oleh publik sebagai Agus PMTOH.
Ini memang agak miris. Dalam sebuah riset yang saya lakukan untuk keperluan penulisan tesis kuliah, salah seorang anak Teungku Adnan, Husaini Adnan, bercerita bahwa sebetulnya ayahnya sangat ingin melahirkan generasi pengurus. Bahkan, Teungku Adnan pernah mengajukan konsep pendidikan untuk belajar seni ini, namun tidak mendapatkan sambutan yang cukup dari pemerintah di Aceh kala itu. Akibatnya, niat Teungku untuk melahirkan penerus tidak bersambut.
Belum lama ini, saya melihat di laman Facebook, rupanya ada salah seorang anaknya, yakni Samsul Bahri, yang meneruskan tradisi ber-PMTOH ayahnya. Samsul adalah teman saya di kampung di Triengadeng. Dulu, Samsul bersama Husaini sering menemani Teungku Adnan berpentas ke mana-mana. Namun lagi-lagi, anak-anak Teungku Adnan itu tidak ada satu pun yang intens menggeluti PMTOH. Sehingga, ya, juga tidak bisa disandingkan dengan kemampuan Teungku Adnan.
Sesungguhnya ini kisah miris. Boleh jadi, ini hanya salah satu kesenian yang tidak cukup punya penerusnya. Barangkali, masih ada sejumlah kesenian lain terancam mati. Saya jadi teringan pepatah aceh: “Mate syedara meupat jirat, mate budaya pat tamita.” Artinya, kalau saudara kita yang meninggal kita tahu di mana makamnya. Jika yang mati adalah kebudayaan, tak jelas di mana kita harus mencarinya di mana.
JKT, 14 MARET 2016 | MUSTAFA ISMAIL