Aku Ingin Jadi Kupu-kupu
Cerpen Mustafa Ismail |
Bapak mengabarkan pekan depan kami pindah. Pindah lagi, lebih tepatnya. Hampir setiap tahun kami pindah. Tidak jauh-jauh memang, tetap di lingkungan ini-ini saja. Kami memang tidak mungkin pindah jauh, karena aku sekolah tidak jauh dari sini, di sebuah sekolah menengah atas. Jika pindah jauh, apalagi ke pinggiran kota, jelas akan membuatku kalang-kabut.
“Kalau aku sudah kuliah boleh pindah jauh, kalau perlu ke kampung bapak di Jawa,” kataku. Bapak tidak menjawab, hanya memonyongkan mulutnya, seolah ingin mengatatakan: itu kan maumu. Maunya keadaan belum tentu begitu. Aku mafhum, keadaan memang kadang membuat seseorang harus pergi dari tempat yang ia sukai, harus terusir dari kampung sendiri.
Sesungguhnya, ini adalah kampungku. Di kampung padat inilah aku menangis untuk yang pertama kalinya. Aku lahir hingga besar di sini. Ketika kecil, aku suka berlarian di gang di depan rumah kami yang hanya cukup untuk berpas-pasan dua sepeda motor. Aku dan teman-teman bermain di atas badan gang itu, ya main dadu, petak umpet, dan apa saja. Ketika ada sepeda motor lewat, kami segera menyingkir.
Kalau senja turun, gang itu kami pergunakan ramai-ramai. Selain kami yang bermain, gang itu juga digunakan oleh para pedagang makanan keliling untuk lewat, bahkan nongkrong, juga untuk ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya sambil mengobrol. Ada pula anak-anak muda yang bergerombol di ujung gang sambil menyanyi diiringi petikan gitar yang tak jarang berantakan.
Kalau sedang sumpek di gang, aku dan beberapa teman suka pergi ke luar jalan besar. Kami menyebut cuci mata: melihat orang-orang lewat, barisan cahaya dari pertokoan dan lampu-lampu mobil yang menyilaukan. Sebenarnya bagiku yang paling menarik bukan itu. Di jalan besar, aku bisa dengan leluasa menatap puncak Monas. Aku begitu takjub melihat cahaya keemasan dari puncak tugu itu.
“Kapan ya aku bisa naik ke puncak emas itu…” Kata-kata itu suka meluncur begitu saja dari mulutku. Kawan-kawan yang mendengar kadang berkata: “Kamu harus menjadi burung dulu.” Tapi aku selalu menolak ucapan mereka. Aku tidak ingin jadi burung. “Aku ingin menjadi kupu-kupu.”
“Kupu-kupu malam dong….” Tawa teman-teman lalu pecah. Mereka puas meledekku. Tapi aku diam saja. Pada suatu saat akan kujelaskan mengapa aku ingin menjadi kupu-kupu, bukan ingin menjadi burung yang bisa terbang setinggi mungkin. Buatku, kupu-kupu lebih indah, lebih lembut. Ia memang tidak bisa terbang tinggi, tapi itulah tantangannya: ia harus berjuang untuk melakukan itu.
Kupu-kupu harus berjuang untuk terbang sampai ke Monas. Tapi bagi burung tidak. Ia bisa mencapainya kapan saja. Serba mudah. Kondisiku tidak seperti itu. Aku butuh perjuangan untuk mencapai sesuatu. Ayah tidak punya pekerjaan tetap dengan penghasilan cukup, kadang menjadi supir bajaj, lain kali menjadi tukang bangunan, pada saat lain jadi sopir metro mini. Ibu hanya di rumah. Mengurusku dan dua adikku.
Aku bukan burung yang bisa terbang kemanapun aku mau. Bercita-cita menjadi kupu-kupu pun adalah sesuatu yang tidak mudah bagiku. Aku ini sebetulnya keong, yang merangkak pelan. Tapi aku tidak ingin menjadi keong. Terlalu lambat, tidak bersemangat. Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak bergairah, lemas, apalagi diam. Aku suka bergerak, berlari, dan terbang.
Ketika mulai besar, aku makin memantapkan diriku untuk menjadi kupu-kupu. Kata ibu, aku cantik. “Kamu ini bisa kayak artis lho. Mudah-mudahan kamu nanti jadi artis,” kata seorang bulekku di Jawa, ketika kami pulang pada sebuah Lebaran. Aku tersenyum tipis, dan berkata: “Aku mau jadi kupu-kupu, Bulek.”
Bulekku terperangah mendengarnya. “Kupu-kupu malam, maksudmu? Eling nduk, eling…”
“Bukan bulek. Bukan kupu-kupu malam. Jadi kupu-kupu, itu yang suka terbang di bunga-bunga…”
“Mboh, aku nggak ngerti maksudmu.”
Aku tidak menjelaskan lebih lanjut, karena percuma. Pastilah bulek makin tidak mengerti dengan penjelasanku. Akhirnya ibu yang menjelaskan dengan bahasanya sendiri: “Ia ingin menjadi seperti kupu-kupu, bisa hinggap di bunga-bunga.” Meski tidak sepenuhnya benar, penjelasan ibu membuat bulek mengangguk-angguk.
“Karebmu, asal jangan menjadi kupu-kupu malam lho nduk… Bulek tak rela. Bulek bisa bunuh diri…” Bulek kemudian berlalu, tapi tetap menyimpan rasa penasaran yang hebat: “Keinginan kok aneh-aneh….”
Aku tidak menyahut, hanya tersenyum. Tidak semuanya memang perlu dijelaskan kepada orang lain. Tidak semuanya mesti diungkapkan. Tidak semuanya orang bisa paham dengan keinginan-keinginan orang lain. Maka itu, aku bisa mengerti mengapa bulek menjadi bingung mendengar kata-kataku.
Maka, sejak itu, keinginan itu pun kemudian aku simpan menjadi keinginan terpendam. Aku hanya akan mengungkapkan itu kembali ketika aku siap menjelaskan dengan bahasa yang dimemengerti oleh orang lain. Kalau tidak, aku bisa dianggap sebagai orang aneh bahkan gila.
Tapi, seperti biasa, kalau malam aku masih suka keluar ke jalan raya untuk menikmati cahaya keemasan dari Monas. Sendiri. Aku tidak mengajak teman-teman kecilku. Mereka pasti punya acara sendiri-sendiri. Kini kami sudah besar, sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Meski kami masih sering bertemu, masih sering ngobrol, masih sering ha-ha-hi-hi, tapi sesungguhnya kami sudah berjarak. Kami punya privacy masing-masing, keinginan dan rahasia masing-masing.
Kesendirian menjadi lebih bebas. Itu sebabnya aku tidak mau punya pacar, meskipun banyak teman sekolah mengejar-ngejarku, berusaha berbaik-baik padaku, menawarkan nonton, jalan-jalan, bahkan mengantarku dengan mobilnya. Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terkungkung, mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat atas nama cinta. Aku ingin menjadi kupu-kupu, yang bebas, dan bisa berada di tempat-tempat menyenangkan.
Beberapa teman menggosipkan aku lesbian, hanya suka pada perempuan. Mereka hanya kerap melihat aku bersama teman-teman perempuan, tak pernah sekalipun berjalan berdua bersama seorang laki-laki. Tapi aku diam saja. Toh tidak semua hal mesti dibantah. Kalau dibantah, justru bisa membuat yang bikin gosip jadi lebih senang. Tapi kadang-kadang, aku bangga juga digosipin, artinya aku diperhatikan.
Tapi sudahlah, aku tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Yang mengganggu pikiranku kini adalah kata-kata bapak tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah. “Pekan depan, kita pindah.” Kemana? Bapak menggeleng. Ibu juga diam saja. Setelah itu, bapak berangkat kerja, entah kerja apa — aku tidak pernah bertanya. Ibu pun tak tahu.
Seperti kukatakan tadi, ini bukan kali pertama kami mesti pindah. Hampir tiap tahun kami pindah, mencari kontrakan yang lebih murah, meski di lingkungan disitu-situ juga, namun makin jauh dari Monas. Sekarang, banyak kontrakan tumbuh, gedung-gedung juga tumbuh, seperti pohon-pohon besar di tengah hutan.
Kontrakan lama sering diruntuhkan, lalu di atasnya dibangun kontrakan baru yang lebih bagus, tentu dengan harga sewa yang lebih mahal dari sebelumnya. Biasanya penghuni kontrakan-kontakan baru itu adalah orang-orang baru, yang lebih muda, pekerja atau keluarga muda. Mereka lebih rapih, lebih terpelajar daripada penghuni sebelumnya. Seperti kontrakan yang kami tinggali sekarang, kabarnya juga mau direnovasi, karena itu kami harus pindah. Meski kabar mau dibongkar itu tidak terlalu jelas. Beberapa orang yang kutanya mengaku tak tahu.
Jawaban sesungguhnya baru kuperoleh dari ibu, malam-malam, setelah lama ibu diam. “Bapak tidak punya uang untuk bayar kontrakan.” Ibu mengatakan itu tanpa kutanya, mungkin ia tidak sanggup menyimpan sendiri beban itu. Sejak pagi, ibu selalu termenung. “Tapi bapak sedang mengusahakan agar bisa bayar kontrakan. Bapak sedang mencari pinjaman,” kata ibu lagi, setengah terisak. Bening-bening kecil jatuh di wajah ibu.
Begitu berat beban ibu, beban keluarga kami. Aku menggigit bibir. Tiap tahun, selalu persoalan itu yang muncul. Muncu lagi dan muncul lagi. Mataku menerawang. Pikiranku kemana-mana. Langit-langit ruang tamu rumah kami seperti layar film yang menyuguhkan berbagai gambar dan adegan. Lamat-lamat, aku merasakan tubuhku melayang. Kulihat tubuhku dbersayap. “Hore…. Aku menjadi kupu-kupu,” teriakku girang. Kegirangan tiada tara. Keinginanku tiba-tiba tercapai.
Aku keluar dari rumah, terbang di atas atap-atap rumah. Dari sana, aku melihat Monas makin berkilau. Aku melihat Jakarta yang berderang, bagai lautan cahaya dengan perahu dan kapal yang sebagian diam dan sebagian lagi berarak di ruas-ruas yang mirip sungai, yang berbelok-belok dan tak bermuara.
“Aku ingin terbang ke puncak Monas…” Berkali-kali kata-kata itu kuteriakkan.
Tapi malam seolah diam, tidak perduli pada kata-kataku. Aku tidak pun tidak ambil pusing. Aku terus terbang, pelan namun pasti, ke arah tugu itu, melawan angin yang tiba-tiba menjadi kecang, bahkan melawan hujan yang tiba-tiba turun dengan kilat dan petir menyambar-nyambar.
“Aku harus bisa mencapai puncak emas Monas,” teriakku lagi. Tapi, belum sampai di Monas, suara riuh berdentam-dentam di gang di depan rumah kami. Ada banyak orang di sana. Beberapa di antaranya mengetuk-ngetuk pintu rumah kami bertalu-talu. Mereka seolah tak sabar menunggu kami terbangun. “Mpok, Mpok. Bangun Mpok. Pak Kusno dibakar orang. Ketangkap mencopet,” tukas beberapa orang seperti sebuah koor panjang di tengah malam.
Ayahku? Ah… Seribu kupu-kupu tiba-tiba menyerbu dan menghujani kepalaku. ****
=======================
Cerpen ini pernah dimuat di Tabloid Nova, namun postingan di sini telah mengalami beberapa perubahan oleh penulisnya.
———————-
MUSTAFA ISMAIL, menulis cerpen, puisi dan esai dimuat berbagai media cetak, dan termuat dalam sejumlah buku antologi bersama. Kumpulan puisi “Tarian Cermin” (2007) dan “Menggambar Pengantin” (2013). Kumpulan cerpennya “Lelaki yang Ditelan Gerimis” (2014). Sebagian tulisannya didokumentasikan di blog pribadinya: musismail.com. Alumnus STIEI Banda Aceh dan Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini suka memprovokasi orang untuk menulis dan berkreasi. Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Ia bisa dicolek untuk diajak ngopi atau sekedar basa-basi lewat twitter: @musismail. ***