esai

Makmeugang

Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail | KOLOM INI pernah di muat di Koran Tempo, Kamis, 18 Juni 2015. |

Sebuah foto masakan daging yang begitu menggoda, tiga hari lalu, masuk di Whatsapp saya, dilengkapi pesan dalam bahasa Aceh: “Kak na geutaguen sie ruboh, menyona hawa euntreuk piyoh.” Pesan itu dari seorang warga Aceh di wilayah Tangerang Selatan. Kami menyebutnya Ngoh Min atau Bang Amin –namanya M. Amin — seorang insiyur sekaligus pengusaha bidang perawatan mesin pesawat terbang.
Ia mengabarkan istrinya memasak gulai daging dan mengajak saya mencicipi. Sayangnya, saya pulang kerja terlalu malam sehingga tidak sempat singgah di tempat Ngoh Min. Padahal momentumnya istimewa, karena beberapa hari menjelang bulan puasa.
Saya sebut istimewa, karena dalam tradisi di Aceh, satu dan dua hari menjelang Ramadan adalah hari makmeugang. Pada hari makmeugang, pasar kecamatan penuh penjual daging, terutama kerbau dan sapi. Seluruh keluarga di Aceh pergi ke pasar, membeli daging, lalu pulang memasaknya dengan aneka hidangan: dari sie ruboh (gulai), sop, hingga rendang.
Ritual ini, tidak hanya dilakukan saat menjelang Ramadan, tapi juga sehari menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Saya tidak tahu persis asal nama “makmeugang”. Ada yang menyebutkan tradisi ini dimulai sejak zaman Iskandar Muda abad ke-16. Bahkan, soal ini diatur dalam Qanun Meukuta Alam, undang-undang kerajaan. Pada hari makmeugang, Sultan memotong banyak hewan.
Dagingnya dibagi-bagi kepada rakyat Aceh secara cuma-cuma. Ini bentuk rasa syukur kepada Tuhan sekaligus terima kasih kepada rakyat dari Sultan. Namun, ketika kerajaaan Aceh dikuasai Belanda, tradisi ini tidak bisa lagi dilakukan. Nah, rakyat kemudian melakukannya sendiri. Akhirnya, makmeugang menjadi tradisi rakyat.
Tidak ada satu rumah pun di Aceh pada hari makmeugang tidak menikmati daging. Bahkan, bagi lelaki yang baru menikah, makmeugang adalah pertarungan “harga diri”. Makin banyak daging yang bisa dibeli dan diantarkan ke rumah mak tuan (mertua), makin naik pamornya di mata mertua.
Begitu pula bagi sang ayah, makmeugang adalah upaya menunjukkan eksistensinya di tengah keluarga. Jika ia gagal membeli daging, bukan hanya membuat sedih dirinya, juga membuat sedih seisi keluarga. Maka, segala upaya dilakukan, termasuk mencari utangan.
Namun, di luar soal pertarungan eksistensi, di sini juga ada nilai-nilai solidaritas. Bagi warga miskin yang tidak sanggup membeli, selalu ada orang yang mengantarkan daging, baik dalam bentuk mentah maupun sudah matang. Sehingga mereka pun bisa merasakan dan menikmati suasana makmeugang.
Namun, bagi kami warga Aceh di luar, makmeugang adalah perang melawan kerinduan. Apalagi, bagi yang istrinya non-Aceh dan tidak bisa memasak masakan Aceh. Jadi, terkadang terpaksa “bermakmeugang” di warung Padang –dengan membeli gulai daging dan rendang. Sebab, tak banyak warung Aceh di Jabotabek.
Untunglah, terkadang, ada saja acara bernuansa makmeugang. Seperti Sabtu lalu, belasan warga Aceh di Jabotabek, penggerak Kongres Peradaban Aceh, berkumpul di Ciputat. Sang tuan rumah, Fahmi Mada, menyuguhkan kuah beulangong (kari sapi) lengkap dengan masakan Aceh lainnya. Meskipun itu tak bisa disebut makmeugang karena Ramadan masih beberapa hari lagi. Tapi setidaknya rindu kami sedikit terobati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: