Muge
Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail | Esai ini pernah dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 13 Juni 2015.
|
Setiap ada hiruk-pikuk—terutama hiruk-pikuk politik—saya jadi ingat tepi pantai di kampung saya di Aceh. Tiap pagi, sepulang para nelayan dari melaut, suasana riuh. Keriuhan terjadi antara nelayan dan para muge eungkot, makelar dan pedagang ikan, yang melakukan tawar-menawar ikan. Biasanya mereka berdiri melingkar mengelilingi ikan-ikan yang ditaruh dalam raga alias keranjang.
Mereka saling tawar-menawar, bahkan lelang sederhana, dengan volume suara tinggi, bahkan suara meninggi. Prosesi itu menarik perhatian orang-orang lain di pantai, tidak hanya antarnelayan dan para muge. Orang-orang berdiri di belakang mereka menyaksikan “panggung” itu. Ini menjadi hiburan lain saat jalan-jalan pagi ke pantai.
Peristiwa ini mirip dengan apa yang terjadi dunia marketing: tawar-menawar dan keriuhan. Pasar adalah sebuah panggung tempat sebuah pertunjukan dilangsungkan. Aktor-aktor di atas panggung itu selalu punya cara menarik perhatian orang agar produknya laku. Salah satunya dengan drama dan keriuhan.
Maka itu, dalam salah satu konsep marketing disebutkan bahwa jika produk Anda ingin laku dan dikenal, bikinlah keriuhan. Jadi, jika Anda melihat banyak mobil parkir sampai bikin macet di depan kafe yang baru buka, itulah keriuhan yang dimaksud. Ia sedang “memaksa” orang-orang lain untuk menoleh, berhenti, dan masuk ke kafe itu serta melihat apa yang terjadi di sana dan bagaimana rasa makanannya.
Dalam dunia hiburan, jurus keriuhan itu kerap pula digunakan. Misalnya, tiba-tiba infotainmen ramai memberitakan si X sedang dekat dengan Y (lawan jenisnya), lengkap dengan aneka bumbunya. Mereka pun jadi buah bibir. Namanya menjadi kerap dibicarakan dalam kongko para remaja hingga arisan ibu-ibu. Riuh rendah. Lalu, tak begitu lama, tiba-tiba sebuah sinetron, film, atau album salah satu atau dua orang yang diberitakan pun diluncurkan. Orang-orang pun penasaran ingin menonton.
Belakangan, jurus marketing semacam itu merambah ke dunia politik, sehingga melahirkan para konsultan politik, yang mampu membuat jurus-jurus “menjual” sang politikus, salah satunya dengan keriuhan itu. Sebagian orang menyebutnya sebagai proyek pencitraan. Para ahli marketing politik itu bertugas memoles sang politikus agar laku.
Entah sebagai calon kepala daerah, calon anggota Dewan, ataupun laku sebagai tokoh politik baru. Maka itu, jika melihat seorang politikus muda getol bersuara keras untuk memperjuangkan suara rakyat, bahkan mungkin berani berselisih paham dengan pimpinannya, tidak perlu terharu dulu. Bisa jadi ia sedang mempraktekkan petuah dukun politik untuk menjadi tokoh baru.
Sejumlah kebijakan kontroversial di Aceh, misalnya, bisa ditafsirkan bagian dari proyek citra itu. Sebut saja larangan ngangkang saat berboncengan sepeda motor di Lhokseumawe, pemisahan kelas siswa perempuan dan laki-laki di Aceh Utara, hingga “jam malam” bagi pekerja perempuan di Banda Aceh. Keriuhan itu, diakui atau tidak, telah mendongkrak popularitas para kepala daerah tersebut.
Tentu saja, seperti halnya muge tadi, para aktor politik menikmati betul menjadi pusat perhatian. Dan itulah yang mereka kejar. *