esai

Kota, Identitas dan Kebudayaan

Tulisan berikut adalah makalah saya dalam Seminar Kebudayaan “Menggagas Tangerang Selatan Sebagai Kota Budaya” di BSD Serpong, Rabu, 22 April 2015. Seminar yang diadakan Kantor Kebudayaan dan Parawisata ini menghadirkan tiga pembicara. Selain saya, ada Chavcai Saifullah dan Samudro. Seminar ini dihadiri oleh para seniman, budayawan, birokrasi, pengusaha, politisi, dan para pengambil keputusan di Banten.




Salah satu gagasan yang sampaikan dalam seminar itu kemudian juga saya jadikan artikel opini dan dimuat di Koran Tempo edisi Kamis, 23 April 2015.

Kota, Identitas dan Kebudayaan
— Menggagas Tangsel Sebagai Kota Budaya

OLEH: Mustafa Ismail

Saya ingin memulai diskusi ini dengan melempar beberapa pertanyaan. Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kota bernama Yogyakarta? Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata Pekalongan? Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar nama kota Bandung? Apa yang ada dalam imajinasi Anda ketika mendengar kata Aceh? Lalu, apa yang ada dalam pikiran kita ketika mendengar nama Tangerang Selatan?

Sebuah tempat — desa maupun kota – dibentuk oleh sejumlah unsur, antara lain manusia dan kebudayaan. Mulanya manusia, secara sendiri-sendiri atau berkelompok, mendiami sebuah tempat sehingga membentuk sebuah komunitas. Mereka kemudian meleburkan sistem nilai masing-masing dan membentuk sebuah sistem nilai baru. Nilai-nilai itu mereka sepakati bersama dan menjadi identitas kelompok itu.

Selanjutnya, nilai-nilai itu kemudian mereka aplikasikan dalam kehidupan, lewat laku dan interaksi sosial, bangunan, gedung-gedung, rumah, jalan, kebiasaan, adat-istiadat, kesenian, hingga tata (aturan) pergaulan. Inilah yang kemudian membentuk kebudayaan.

Koentjaraningrat (1985: 1-2), mendefiniskan kebudayaan sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Salah satu jenis kebudayaan itu adalah kesenian.

Adapun Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.

Proses tumbuhnya kebudayaan, di desa maupun di kota, sama saja yakni adanya sebuah aktivitas masyarakat secara berkelompok dan massif. Yang membedakan adalah tafsir dan cara padang. Orang desa lebih cenderung memandang sesuatu dalam konteks kebutuhan. Seseroang membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena citra yang melekat pada sesuatu itu.



Pakaian, misalnya. Bagi orang desa, pakaian adalah untuk menutup tubuh. Adapun bagi orang kota, fungsi pakaian tidak hanya penutup tubuh, tapi juga alat kebutuhan sosial. Mahalnya pakaian seseorang merupakan perwujudan kedudukan sosial si pemakai. (Soerjono Soekanto, 2012: 139). Meskipun kini, batas antara desa dan kota menjadi begitu tipis – dan makin sulit dibedakan.

Sama halnya ketika kita menjadi sulit merumuskan: apakah yang disebut kota (di Tangerang Selatan) adalah Pamulang dan BSD? Apakah Sarua, Pondok Aren, Muncul, Lengkong, Pondok Benda, tidak bisa disebut kota? Sebab, dalam kerangka kebudayaan, kota tidak dalam arti fisik (adanya mall, ruko, pusat belanja, dan seterusnya) tapi juga cara berpikir dan perilaku sosial. Sebab, hal itulah yang membentuk sebuah identitas.

Nah, kembali ke pertanyaan di atas: identitas seperti apa yang kini dipunyai oleh Tangerang Selatan? Memang, masing-masing kota kemudian membuat moto untuk mendefinisikan kotanya. Misalnya, ada yang membikin moto Beriman, Berkah, dan sebagainya. Tangerang Selatan punya moto: Cerdas Modern Religius. Namun, sesungguhnya, Tangerang Selatan itu kota apa?




Citra sebuah kota seharusnya terbentuk oleh kondisi, karakter, dan keunggulan kompetitif yang dimiliki kota itu. Keunggulan kompetitif adalah sesuatu yang berbeda dengan kota-kota lain. Unik. Khas. Istimewa. Pekalongan, misalnya, keunggulan kompetitifnya batik maka Pekalongan dikenal sebagai kota batik. Aceh, mempunyai keunggulan kompetitifnya dalam soal agama (Islam). Islam masuk pertama di sana, maka melekat namanya sebagai Kota Serambi Mekkah.

Bandung keunggulan kompetititfnya adalah kreativitas anak-anak muda, terutama bidang desain. Maka, ia dilabeli kota kreatif. Ada yang juga label kota Belanda, karena banyak distro. Begitu pula kota-kota lain. Nah, apa keunggulan kompetitif kota Tangerang Selatan? Inilah yang perlu kita gali dan rumuskan. Untuk menjawab ini perlu riset atau penelitian yang mendalam dan diskusi terus-menerus.

Dari sisi karakter, Tangerang Selatan tidak banyak beda dengan kota-kota satelit lain di Jabodetabek. Mereka juga bisa mengklaim sebagai kota modern, religius, cerdas, beriman, dan sebagainya. Namun, klaim itu tidak menjawab apa sebetulnya “kelamin” dari sebuah kota. Persoalannya, tidak semua kota mempunyai keunggulan kompetitif “bawaan” – yang terbentuk secara dialektis dari kehidupan sosial masyarakatnya.

Maka itu, bagi kota yang tidak punya keunggulan kompetitif bawaan, perlu upaya untuk membentuk identitas itu dengan cara “rekayasan sosial”. Para ahli sosiologi menyebut rekayasa sosial adalah sebuah upaya menciptakan kondisi atau merangsang perubahan sosial lewat campur tangan orang-orang di dalamnya, termasuk oleh pemimpin. Masyarakat dirangsang dan didorong melakukan sesuatu agar berubah jadi lebih baik.

Dengan kata lain, dalam menciptakan identitas kota ini perlu adanya sistem branding yang disusun secara sistematis oleh para pemimpin atau pengelola kota itu. Tentu saja itu juga berangkat dari potensi apa yang bisa “dijual” sebagai brand. Nah, salah satu potensi itu adalah kebudayaan. Sebab, di Tangerang Selatan menetap banyak seniman dan budayawan, dengan kiprah nasional bahkan internasional.

Keberadaan mereka akan sangat penting untuk membantu dan mendukung kerja-kerja pemerintah. Persoalannya bagaimana mengajak mereka untuk turut serta membantu pemerintah kota merusmuskan strategi dan mengembangkan kebudayaan.




Mereka bisa diajak dan dikumpulkan dalam satu majelis yang bisa setiap saat memberi masukan bagi pembangunan di kota ini. Sebut saja, misalnya dengan membentuk Dewan Kebudayaan atau Majelis Kebudayaan. Ini akan melengkapi dewan lain yang sudah ada seperti Dewan Pendidikan dan sebagainya.

Tentulah Dewan Kebudayaan berbeda dengan Dewan Kesenian. Jika Dewan Kesenian berfokus pada seni, sementara Dewan Kebudayaan lebih luas dan sangat strategis. Jika Dewan Kesenian berorientasi produk, sementara Dewan Kebudayaan berorientasi pada nilai dan pemikiran. Dewan Kebudayaan bisa berisikan para budayawan dari berbagai bidang, akademisi, dan para cerdik pandai lainnya.

Sebuah kota modern memang selalu memerlukan panel-panel ahli sesuai bidangnya yang membantu dan mendampingi pemerintah dalam menggerakan mesin pembangunan. Sebab, modernitas tidak hanya bermain dalam tataran fisik, melainkan juga berada di wilayah nilai. Pembentukan panel atau majelis semacam ini juga bagian dari upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sehingga hasil pembangunan lebih mengakar pada kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Langkah selanjutnya adalah merumuskan stategi bagaimana branding itu dibentuk. Pertama-tama, sudah pasti, perlu adanya peraturan daerah yang mendukung kebudayaan sebagai salah satu potensi kota ini. Ini akan menjadi landasan hukum untuk bergerak. Selanjutnya, adalah menciptakan sebanyak-banyaknya ruang kebudayaan seperti Taman Budaya, gedung kesenian, kampung budaya, hingga ruang-ruang kreatif yang kecil-kecil di berbagai tempat.

Tangerang Selatan kini mempunyai banyak gedung, mall, dan perumahan. Mereka bisa diajak turut serta dalam menyediakan ruang-ruang kreatif alias ruang kebudayan tempat masyarakat berekspresi. Misalnya, tiap mall dan perumahan ada ruang untuk pameran dan pertunjukan seni yang disediakan oleh perusahaan/pengembangnya. Setiap gedung/proyek-proyek fisik yang dibangun juga bisa disyarakat harus berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan. Misal, dalam sisi artitektur dan sebagainya.

Perusahaan-perusahaan yang ada di Tangerang Selatan juga bisa diajak bekerjasama membantu sanggar-sanggar kesenian, membiayai kerja-kerja kebudayaan lewat program CSR mereka. Mereka juga bisa diajak untuk membiayai riset-riset dan penerbitan bidang kebudayaan. Sebab, masih banyak elemen-elemen kebudayaan kita belum tercatat dan menjadi buku.

Misalnya, nama-nama dan asal-usul tempat, nama-nama tokoh, pahlawan, arsitektural, dan elemen-elemen kebudayaan lain yang pernah hidup dan berkembang di wilayah ini. Itu bukan hanya penting untuk identitas sebuah kota, juga menjadi penting bagi pihak lain yang ingin mengetahui tentang kota itu. Jangan sampai nama-nama itu tenggelam dan tidak sempat ditulis, karena orang-orang yang mengetahui sejarahnya keburu tiada.



Saya pernah punya pengalaman tak asyik bagaimana susahnya mendapatkan referensi tentang sebuah karya kebudayaan di sebuah provinsi karena kebudayaan itu tidak ditulis. Itu terjadi ketika sedang melakukan riset untuk tugas akhir kuliah pascasarjana. Yang tersedia adalah informasi sepotong-sepotong di internet yang belum pernah dilakukan uji akademik, sehingga tingkat kebenaran dan kesahihannya rendah.
Kondisi semacam ini mengancam fase-fase dan pernak-pernik tertentu dalam sebuah kebudayaan lekas tenggelam, bahkan kemudian hanya menjadi dongeng,

Jadi, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan sebuah kota menjadi kota berkebudayaan atau kota budaya. Pertama, penggalian kebudayaan, lalu pengembangan, pelestarian, dan promosi. Nah, untuk yang terakhir (promosi), akan berkonsekwensi dengan peningkatan ekonomi kota. Sebab, kebudayaan bisa menjadi sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang lain untuk datang. Maka sudah pasti itu akan menguntungkan masyarakat sekaligus pemerintah daerah.

Pada akhirnya, dengan terus mempertajam visi kebudayaannya, termasuk memperkuat segala sistem pendukungnya, tidak sulit untuk mewujudkan Tangerang Selatan sebagai salah satu kota budaya, atau setidak-tidaknya menjadi “kota yang berkebudayaan” — yang menempatkan kebudayaan sebagai rujukan pembangunan. Jadi kebudayaan bukan hanya sesuatu yang bergerak secara tak beraturan, melainkan “ditangkap” lalu dikemas menjadi kekuatan untuk membentuk identitas kota. ***

=========

BIODATA SINGKAT:

MUSTAFA ISMAIL, menulis karya sastra (puisi, cerpen) dan esai-esai tentang seni dan kebudayan sejak awal 1990-an. Lulus S1 dalam bidang manajemen keuangan dan perbankan pada 1995, kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) bidang seni di Institut Kesenian Jakarta pada 2010. Selain menulis dan menjadi editor, juga mengelola lembaga riset dan pengembangan kebudayaan Imaji Indonesia dan Sekretaris Umum Yayasan Cinta Sastra. Bisa dihubungi lewat email: suratmus@gmail.com, twitter: @musismail dan telepon 0852-8999-4003.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: