esai

Membaca Kegelisahan Giyanto Subagio

Mustafa Ismail | Tulisan ini untuk pengantar diskusi puisi-puisi Giyanto Subagio di Planet Senen, 23 Februari 2009.

Karya seni, betapa pun berat dan luhurnya beban yang emban, tetap wilayah personal. Ia adalah hasil interaksi antara kreator dengan persoalan yang merangsang atau menginspirasinya. Apakah itu itu berwujud kegembiraan, ketakjuban, bahkan keresahan, dan kemarahan. Saya akan melihat puisi-puisi Giyanto Subagio dalam konteks ini: pergulatan sang penyair dengan lingkungan yang melingkupinya.

Membaca sekilas, puisi-puisinya memperlihatkan sebuah kepolosan. Kata-katanya sederhana dan mudah dimengerti. Ia tidak hendak bersulit-sulit atau berakrobat dengan bahasa —sebagaimana menjadi kecenderungan perpuisian kini. Ia memotret sesuatu dengan kejujuran — dengan mata nan telanjang. Terkadang, puisinya mirip sebuah laporan, yang siapa pun tidak akan sulit memahaminya. Pada saat lain adala perenungan.

Sebagian penyair atau pengkritik sastra yang saklek menganggap puisi adalah dunia lambang, simbol, mungkin akan mempersoalkan hal ini. Sebab, puisi-puisi Giyanto tidak merepresentasikan dunia simbol secara kuat. Ia lebih senang bicara apa adanya. Tapi jangan lupa, simbol sebuah puisi tidak cuma berdiri sendiri menjadi sebuah kata atau kalimat. Dunia simbol bisa saja merepresentasikan sebuah bangunan puisi itu sendiri.

Coba kita perhatikan sebuah kursi. Kursi tidak saja sebagai realitas makna yang harfiah, juga dunia simbol. Ia bisa menyimbolkan kekuasaan, kedudukan. Untuk mengungkapkan simbol kursi, kita tidak harus meneliti kursi itu dari dekat, melihat catnya, peliturnya, pakunya, kerapian pemasangan atau perekatan antar bagian-bagian yang tadinya berdiri sendiri, dan seterusnya. Tentu lebih bagus kita mendekat dan meneliti lebih mendalam..

Puisi-puisi Giyanto bisa dilihat dengan kaca mata seperti ini. Coba simak puisi “Hari-hari Terakhir Mantan Tukang Sapu”, misalnya. Giyanto, antara lain menulis seperti ini: “Engkong Hasan, engkau tidur di atas kardus/makan dan sehari-hari dari menjual kardus/ waktu mati pun engkau dikafani di atas kardus//Engkong Hasan, engkau tidak kami kuburkan di balik tumpukan kardus/ walau pemerintah kota tak mengurus..”

Ia mengangkat Engkong Hasan sebagai sebuah simbol ketidak-berdayaan, kemiskinan, juga kesia-siaan. Namun, ia tidak memperlihatkan dirinya sebagai orang yang dekat dengan Engkong Hasan. Ia menulis itu dalam jarak tertentu, tidak berusaha masuk ke dalam persoalan si tokoh. Maka, saya lebih cenderung menggolongkan puisi ini sebagai catatan sekilas terhadap sebuah peristiwa. Ia tidak menghadirkan sebuah itensitas sekaligus otentisitas si tokoh itu.

Tokoh itu tidak dihadirkan secara jelas kedirian dan identitasnya. Sehingga, banyak orang bisa mengidentifikasi diri dengan tokoh semacam itu. Sebab, ia tidak khusus, tidak istimewa, tidak spesifik. Dari sisi itu, sebagian pengkritik sastra akan menyebut ini sebagai sebuah kegagalan kreator untuk memvisulisasikan tokoh itu secara tegas dan mendalam. Penyair gagal menghadirkan tokoh itu sebagai simbol yang lebih kuat.

Hal serupa dapat ditemukan dalam sajak berjudul “Lelaki Lereng Merapi” yang ditujukan kepada Mbah Marijan. Giyanto menulis seperti ini: “seorang lelaki berdiri di lereng/ Merapi/memandang ke bawah/kampung-kampung sepi/ternak-ternak mati…” Kita segera mafhum bahwa yang digambarkan adalah keperkasaan Mbah Marijan. Kecintaannya pada merapi membuat ia tidak pergi setapakpun dari merapi. Padahal orang-orang, termasuk otoritas pemerintah, telah mengungsikan penduduk lainnya.

Dari sisi kelugasan, sajak ini agak berbeda dengan sajak “Hari-hari Terakhir Mantan Tukang Sapu”. Dalam sajak ini, Giyanto terasa ingin memperkuat sajaknya dengan gagasan-gagasan filosofis. Lihat baris ini: “betapa tipis batasnya antara azab dan cinta/
setipis kulit bawang/setipis kulit ari”. Tampaknya, Giyanto ingin mempertentangkan antara ancaman merapi yang siap meletus dengan kecintaan Mbah Marijan untuk tidak meninggalkan merapi.

Nuansa potret juga bisa ditemukan dalam sajak “Ode Perkampungan Nelayan”. Ia menulis seperti ini: bulan tergantung bagai seperempat semangka/kulihat malam kelam
laut muram/perahu-perahu nelayan di tepi pantai/rindu pada air pasang dan purnam// aku mendengar ratapan bintang-bintang/aku mendengar jeritan batu-batu karang/ aku mendengar rintihan ikan-ikan mati ….” Giyanto lagi-lagi mengungkapkan keresahannya sebagai seseorang yang berjarak (atau mengambil jarak) dengan realitas dalam puisi itu.

Niat untuk mengungkapkan gagasan-gagasan filosofis bisa disimak pula dalam sajak “Malam Hitam”. Giyanto menulis seperti ini: “malam pengantin, malam kematian/ranjang pengantin, keranda kematian//bulan, turunlah di jalan sunyi/jadi jalan buat bintang-bintang/bulan, turunlah kau ke sini/jadi pelita yang menyala di malam remang…”

Kita seperti melihat pengalaman “tertentu” yang ironis dalam sajak ini. Penyair seperti hendak mengungapkan: ada sesuatu yang hilang begitu memasuki ruang perkawinan. Tidak begitu jelas apa yang hilang itu. Boleh jadi, kalau kita menganalisis penulisnya adalah seorang seniman yang melihat kebebasan sebagai segala-galanya, maka yang hilang adalah sebuah kebebasan. Ia seperti melihat ranjang pengantin sebagai keranda yang akan mengirimnya ke ruang sunyi.

Tafsir itu kemudian diperkuat oleh baris selanjutnya: “bulan, turunlah di jalan sunyi/jadi jalan buat bintang-bintang.” Buat saya, sajak ini menjadi ironi bagi sebuah perkawinan. Ironi itu menjadi lebih kental melihat baris selanjutnya: menyanyilah, menyanyi…/menarilah, menari…/langit-langit makin terbuka/ pandanglah neraka dengan tertawa”. Giyanto menghadirkan sebuah fakta yang bertolak belakang dengan bayangan-bayangan kebahagian. Judulnya: “Malam Hitam” memang memperkuat bahwa ada sesuatu yang bermasalah dengan fakta otentik dalam puisi itu.

Yang amat menarik buat saya adalah sajak-sajak Giyanto yang mengungkapkan tentang ketuhanan. Dalam soal ini, sang penyair tampak cukup intens. Ada beberapa sajak yang mengambil wilayah ini, yakni Solitude, Sang Pengembara, Sayap-sayap Jiwa, Cahaya, dan Puncak. Masing-masing sajak ini memang punya intensitas berbeda. Solitude, misalnya, masih terasa polos. Ia menulis seperti ini: “Ramadhan ya Ramadhan/Ada satu malam seribu bulan/Ramadhan ya Ramadhan/Ada satu jalan pendakian/Ramadhan ya Ramadhan/Ada satu naik ke langit-langit tak di kenal”. Sajak Sang Pengembara lebih menyajikan pengembaraan spiritual. Ia menulis: mencari itu sunyi/ mengembara itu sunyi/ aku memasuki kebun-kebun zaitun/ di mana para filsuf menanam pohon-pohon kehidupan/ dengan biji-biji hikmah di awal fajar.

Pencarian yang lebih intens bisa dilihat dalam sajak Sayap-sayap Jiwa. Giyanto menulis seperti ini: “..siapakah yang tak mati dimakani api?/ siapakah yang berjalan melintasi lautan?/ siapakah yang disalibkan/ siapakah yang mendaki tangga demi tangga langit?..” Ia menghadirkan dirinya dengan penyerahan tulus kepada Sang Kuasa. Sajak ini ditutup dengan baris-baris yang luar biasa daya dorongnya untuk membuat sajak ini begitu bertenaga: la illaaha illa Allah. Allah. Hu.

Giyanto melanjutkan pengembaraaannya lewat sajak “Cahaya”. Ia menulis: “akhirnya, kutemukan jejak-jejak para kekasih/ burung-burung dengan sayap mawar terbang di sekitarnya/ aku menyanyikan airmata dan tawa pahit/ bagai Ayub yang sendiri di gurun sunyi// aku berdepan-depan dengan wajah Tuhan yang berseri”. Dalam sajak ini, Giyanto tidak hanya memperlihatkan upayanya mendekat pada Tuhan, juga kematangan emosinya untuk melihat realitas di selilingnya.

Kita bisa merasakan ia mencapai sebuah tahap kesadaran. Ia menulis: luka menjelma laku/yang mengembara di jalan lempang/ mati hari menjelma matahari/yang terbit dari balik bukit” Ia tidak melihat luka sebagai sesuatu yang mesti ditangisi, tapi sebagai sesuatu yang biasa saja dan kerap ditemukan dalam realitas hidup. Maka itu, ia tidak perlu harus menangisi luka. Ini berbeda dengan sajak sikapnya dalam sajak sebelumnya, semisal “Hari-hari Terakhir Mantan Tukang Sapu”.

Dalam sajak yang menggambarkan tentang tukang sapu itu ada sebuah keperihan yang diungkapkan dengan tajam dan lugas. Boleh jadi emosi kedua sajak ini berbeda, karena ditulis dalam waktu berbeda pula. Yang satu ditulis dalam warna kemarahan, satu lagi diciptakan dalam suasana khusyuk dan penuh kepasrahan. Dan itu sah saja tentu. Justru itu akan memperlihatkan otentisitas penyairnya: seseorang yang terkadang marah, sedih, namun pada saat lain hatinya begitu tenang.

Sebuah kesadaran lain diungkapkan dalam sajak berjudul “Puncak”: sajak belum berhasil membawanya dekat dengan Tuhan. Justru, ia merasa tersesat. “mendaki puncak gunung sajak/jemariku tak sampai menggapaimu/aku terjatuh ke dalam jurang yang hitam/tersesat dalam rimba gelap, terperangkap dalam goa gelap.” Nafas sajak ini mirip betul dengan sajak milik Sutardji Calzoum Bahri berjudul “Walau”: walau penyair besar/
takkan sampai sebatas Allah” (dari kumpulan O, Amuk, Kapak).

Boleh jadi, Giyanto punya pengalaman yang sama dengan Sutardji. Sebab, hal ini bisa menjadi pengalaman universal setiap manusia. ***

Depok, 23 Februari 2009 | mustafa ismail, seorang penggiat sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: