Kisah Supir Bus yang Kemudian Jadi Desainer Grafis
Ada banyak kisah inspiratif di sekeliling kita. Mereka tak sekedar kreator, tapi juga menjadi pemimpin bagi orang-orang di sekitarnya. Ada kisah, misalnya, seorang supir bus kemudian menajadi juragan bus plus berbagai usah lainnya. Satu hal yang pasti: mereka adalah orang-orang yang pantang menyerah dan merawat sekaligus mewujudkan impiannya dengan sekuat usaha. Berikut adalah salah satu kisahnya, yang saya kutip dari Kompas, Selasa, 14 April 2015. [MI]
Desain Grafis Mengubah Nasib Sang Sopir Bus
OLEH: REGINA RUKMORINI
Bagi Muhammad Abdul Bar (45), bidang desain grafis tidak semata-mata ditekuni karena memberikan penghasilan dengan nilai nominal menggiurkan. Lebih dari itu, pekerjaan itu bermakna mendalam karena menjadi jalan yang ”membebaskan” dan ”menyelamatkan” hidupnya.
Peluang kerja menjadi desainer grafis memberi kesempatan bagi Abdul untuk mengakhiri ”daftar panjang kejahatannya” di jalan raya selama tujuh tahun bekerja sebagai sopir bus antarkota antarprovinsi (AKAP).
”Dulu, saya berulang kali kecelakaan, menabrak, dan pernah pula menyebabkan empat orang tewas,” katanya.
Merasa kurang cocok dengan profesi yang dijalaninya, Abdul sempat mencari pekerjaan lain. Namun, bagi Abdul, tidak mudah untuk beralih profesi. Beruntung, akhirnya Abdul bisa mendapatkan profesi yang diharapkan. Bahkan, Abdul menjadi tokoh yang dikagumi di desanya.
Semua dicapainya berkat kemenangannya dalam lomba desain grafis tahun 2012. Langkah ini menginspirasi banyak teman dan tetangganya.
Kini, ratusan orang telah mengikuti jejaknya, memenangi beragam lomba desain grafis yang diselenggarakan badan usaha dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Dari sinilah, masing-masing dari mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan 200 dollar AS hingga lebih dari 1.000 dollar AS per bulan.
Prestasi dan penghasilan dari dunia internasional tersebut cukup diperoleh warga dengan berkutat mengerjakan desain grafis di depan komputer di rumahnya masing-masing di Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Belajar desain
Dunia desain grafis dikenal Abdul saat dirinya tengah dilanda masalah keuangan. Bingung karena tidak bisa membayar tunggakan uang sekolah anaknya selama tujuh bulan, dia sibuk bertanya-tanya tentang peluang mencari penghasilan tambahan kepada rekan dan tetangganya.
Jawaban atas persoalannya akhirnya diperoleh dari salah seorang tetangga, Aqip Alesia (30). Ketika itu, Aqip memintanya agar mengikuti lomba desain grafis di internet.
Abdul yang tidak tahu apa-apa soal desain dan gagap mengoperasikan komputer, ketika itu, belajar membuat desain dengan mengikuti arahan dari Aqip. Hal ini dilakukan beberapa kali.
Di luar itu, Abdul berkeinginan kuat untuk belajar sendiri. Namun, karena tidak memiliki komputer sendiri, dia belajar menggunakan komputer tetangga pada saat sang pemilik tidak menggunakannya.
”Biasanya, saya memanfaatkan waktu belajar komputer dan desain saat si empunya komputer sudah tidur pada malam hari,” ujarnya.
Proses pembelajaran ini berlangsung sekitar tiga bulan. Sembari terus belajar dengan dibantu Aqip, Abdul akhirnya mengirimkan satu karya desain. Tidak yakin dengan apa yang dibuatnya, seusai mengirim karya, Abdul melanjutkan aktivitas sebagai sopir bus.
Tidak disangka, setelah mengemudikan bus hingga ke Jakarta, Abdul tiba-tiba ditelepon istrinya, yang menyatakan dirinya berhasil memenangi lomba desain grafis dengan hadiah 400 dollar AS. Berita itu membuat Abdul terkejut dan gembira sekaligus. Kemenangan itu dianggapnya sebagai penanda dari Tuhan bahwa mulai saat itu dia bisa mewujudkan harapannya.
”Saat itu, sekalipun sedang bertugas membawa bus kembali ke Magelang, saya meminta rekan yang lain menggantikan menjadi sopir. Saya sudah bertekad tidak akan menjadi sopir bus lagi,” ujarnya.
Setelah kemenangannya itu, Abdul sontak menjadi pusat perhatian warga. Banyak orang mulai bertanya-tanya tentang pembuatan desain sehingga akhirnya bisa memperoleh banyak uang dari hasil lomba.
Abdul sukarela membagi ilmunya. Kepada ”para anak didiknya”, dia mengatakan bahwa belajar desain grafis dari dirinya memerlukan ”syarat” yang cukup mudah untuk dilakukan.
”Kepada siapa saja yang ingin mulai belajar desain grafis, saya selalu melarang mereka banyak bertanya. Cukup lihat saja apa yang saya lakukan, mengulanginya sendiri, dan berlatih berulang kali hingga akhirnya benar-benar terampil,” ujarnya.
Maka, dari dirinya, akhirnya berkembang rantai pembelajaran panjang tentang desain grafis. Satu ”anak didiknya” mengajari satu orang lagi, yang kemudian juga mengajari orang-orang lain, demikian seterusnya. Meniru gaya Abdul, mereka juga menerapkan sistem pembelajaran yang sama, yaitu tidak banyak bertanya, tetapi banyak berlatih.
Berbagi rezeki
Kini, rantai pembelajaran itu menghasilkan kedekatan antarwarga dan berkembang menjadi kelompok yang disebut Komunitas Rewo-rewo, yang beranggotakan sekitar 250 orang. Nama Rewo-rewo dalam bahasa Jawa diartikan sebagai simbol dari orang-orang berpenampilan acak-acakan dan menyeramkan ala preman jalanan, yang kerap melakukan tindak kriminalitas. Nama ini sengaja dipakai karena sebagian besar anggota dahulu termasuk kalangan preman.
Selain dapat meninggalkan dunia hitam, dari desain grafis, kini sekitar 50 persen anggota Komunitas Rewo-rewo yang merupakan warga putus sekolah juga dapat mencukupi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga masing-masing.
Seiring meningkatnya kesibukan dan kesejahteraan mereka, Komunitas Rewo-rewo juga tetap berkomitmen terbuka dan mau menerima siapa saja yang ingin belajar tentang desain grafis. Dengan keterbukaan dan keikhlasan berbagi ilmu ini, mereka justru yakin akan semakin berkembang dan dapat terus meningkatkan kemampuan di bidang desain grafis.
”Kami meyakini, dengan melakukan hal yang positif, kami akan mendapatkan timbal balik yang positif pula,” ujarnya.
Tidak hanya berbagi ilmu, mereka juga selalu berbagi informasi lomba. Kepada rekan-rekannya, Abdul mengatakan bahwa keterbukaan semacam ini tidak akan menghambat mereka untuk meraih rezeki dari lomba.
”Tidak perlu merisaukan hal-hal tidak penting saat kita ingin berbuat baik. Tenang saja, rezeki setiap orang tidak akan tertukar karena semuanya sudah diatur Tuhan,” ujarnya.
Dengan semangat untuk berbagi itu pula Abdul bisa membeli tanah dan membangun rumah. Ia bisa menyisakan sebagian tanahnya untuk lokasi pendirian radio komunitas, Rewo-rewo 99,9 FM. Radio ini dibangun dengan biaya iuran dari anggota komunitas dengan total biaya Rp 50 juta dan biaya operasional per bulan Rp 500.000.
Karena didirikan bukan untuk tujuan komersial, di siaran radio ini siapa saja diperbolehkan beriklan gratis. Bagaimanapun, berbagi itu jauh lebih menyenangkan daripada menikmati semuanya sendirian.
MUHAMMAD ABDUL BAR
LAHIR:
Magelang, 28 Februari 1970
PENDIDIKAN TERAKHIR:
SMA Widya Purworejo
ISTRI:
Umroh Mahfudoh (40)
ANAK:
Malikhatul Rofiah (18)
Laila Rahmada Pasha (13)