Mewartakan Luka Aceh
Banyak persoalan muncul akibat konflik bertahun-tahun di Aceh.
Banyak persoalan muncul akibat konflik bertahun-tahun di Aceh. Yang utama adalah persoalan korban. Ada yang tertembak, terbunuh, teraniaya, dan minimal dicekam rasa takut berkepanjangan. Karena ketakutan itu pula membuat banyak orang mengungsi, untuk mencari tempat aman.
Tidak hanya menjadi pengungsi lokal, mengungsi dalam wilayah Aceh sendiri, juga mengungsi ke luar Aceh. Salah satu tujuannya Jakarta, bahkan ada yang ke luar negeri. Sehingga muncullah kantong-kantong baru masyarakat Aceh di luar Aceh.
TI Thamrin, penulis buku kumpulan cerpen ini, mencoba mengungkapkan warna pengungsian itu pada cerpennya berjudul “Agam”. Ia menggambarkan seorang ibu asal Jawa dan bersuamikan orang Aceh, bersama seorang anak laki-lakinya, Agam, terpaksa mengungsi ke Jakarta, setelah suaminya ditembak orang tak dikenal.
Itu untuk mengikuti pesan sang suami sebelum meninggal: “Jaga Agam baikbaik. Bawa dia pergi jauh…” Sayangnya, dalam cerpen ini tidak diceritakan secara gamblang bagaimana perjuangan Agam dan ibunya sampai di Jakarta dan mengapa ibu tersebut memilih Jakarta sebagai tempat perteduhannya, mengapa tidak kampung halaman si ibu di Jawa.
Itu menyebabkan pembaca kehilangan konteks dan latar belakang menghadapi keputusan si ibu mengungsi ke Jakarta. Tapi, dalam kontek makna pengungsian, apa pun alasannya, ia mengungsi untuk mencari tempat aman. Substansi dalam cerpen ini cukup mewakili suasana yang dirasakan banyak warga Aceh.
Dan mengungsi memang pilihan paling logis, ketimbang dilanda persoalanpersoalan psikologis yang kerap membawa dampak buruk. Tidak sedikit warga Aceh menjadi sakit jiwa akibat tekanan konflik itu. Banyaknya korban juga membuat golongan pemberontak ikut membengkak.
Mereka terdiri orang-orang sakit hati dan dendam karena anggota keluarganya menjadi korban operasi militer itu, meskipun sebetulnya mereka bukan bagian atau pendukung pemberontakan. Dendam membuat mereka ingin membalas dendam. Sikap darah harus dibayar darah cukup menguat di sini, apalagi hukum dirasakan mati.
Sebagian orang memilih bergabung dengan GAM, agar punya bedil dan kekuatan, demi membalas dendam itu. Selain itu, ada pula yang mencoba menyimpan dendam itu sendiri dan akan membalasnya pada suatu saat nanti. Cermin semacam itu bisa dilihat dalam cerpen “Lukamu Abadi, Za”.
Cerpen ini mengisahkan seorang anak, Mirza, yang begitu dendam pada pasukan bersenjata karena memperkosa dan menangkap ibunya ketika menggerebek rumahnya untuk mencari sang ayah yang anggota Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, namun tidak ketemu. Za, nama penggilan Mirza, berjanji pada dirinya sendiri ketika ibunya diperkosa: “Aku tidak terima.
Tunggu kalau aku besar, akan kucari dan kubunuh dia!” Ini, tentu, sebuah reaksi lazim dari seorang anak, atau anggota keluarga lain, bila melihat anggota keluarganya mendapat perlakuan buruk tertentu dari pihak lain. Aksi balas dendam itu, dalam masyarakat biasa kemudian luruh saat hukum berbicara.
Namun dalam konteks operasi militer di Aceh, hukum tak bergerak. Mirza pun tidak sekedar berjanji. Ia pergi ke Jakarta, menumpang truk pembawa 50 kilogram ganja yang ditimbuni berkeranjang-keranjang jeruk nipis—dengan seorang aparat berseragam duduk di samping sopir—untuk mencari sang pemerkosa itu. Dan memang tak mudah untuk itu.
Nasib tragis kemudian menimpanya: ia terjebak dalam limbah narkoba, dan kemudian Semua cerpen diungkapkan dengan gaya khas Thamrin, cara orang Aceh bercerita, lugas dan kemudian ditangkap polisi. Sebuah ending yang cukup pahit tentu.
Ada beragam persoalan yang diangkat Thamrin dalam kumpulan cerpen ini. Di luar masalah yang terkait langsung dengan konflik, ada cerpen seperti “Meutia Sudah Henti Bertanya” yang lebih mengemukakan persoalan hidup, katakanlah semacam biografi kemiskinan.
Sebetulnya ini gejala umum masyarakat mana pun. Hanya nama tokoh, seperti Meutia, yang mempermaklumkan bahwa persoalan itu dialami oleh sebuah keluarga Aceh. Juga persoalan yang dihadapi ayah Meutia, Irham, yang dituduh membantu pelarian GAM sehingga dipenjara, membuat cerpen ini punya keterkaitan secara simbolik dengan Aceh.
Tapi ini tidak menukik pada substansi budaya keluarga Aceh di rantau itu. Dalam cerpen ini tidak digambarkan dengan kental tata kehidupan keluarga Aceh, meski itu di rantau, yang sudah pasti tidak mungkin menihilkan adat-istiadat dan kebiasaannya.
Hal lain, keluarga Meutia seperti kehilangan setengah biografi hidupnya, tidak terjelaskan asal-muasalnya. Lepas dari itu, cerpen ini cukup mengharu biru, cukup kuat mengetengahkan konflik batin Meutia, juga ibunya, yang mendapatkan sang ayah Meutia terpaksa meringkuk dalam penjara. Itu karena terpeleset dalam pencarian nafkah hidup.
Ada sejumlah persoalan yang diangkat Thamrin dalam buku ini. Selain masalah konflik Aceh, ia juga mengangkat konflik budaya menyangkut simbol-simbol tertentu dalam masyarakat Aceh, misalnya pembedaan kaum bangsawan dengan yang tidak (dalam cerpen “Rencanakan Segalanya Kecuali Mati”), kehidupan orang kecil, baik itu yang mencoba bertahan hidup dengan berbagai upaya, sampai kehidupan Penjara.
Selain itu, terselip juga cerpen tentang kehidupan orang kaya, yang resah dengan perilaku anaknya, dalam cerpen “Keresahan Kalangan Eksekutif”. Semua cerpen itu diungkapkan dengan gaya khas Thamrin, cara orang Aceh bercerita, lugas dan blak-blakan. Ia mendiskripsikan persoalan sedemikian rupa, sehingga pembaca benar-benar menyaksikan adegan-adegan yang dipaparkan lengkap dengan suasananya.
Tayangan peristiwanya begitu kental. Itulah sebetulnya cerita, peristiwa —entah itu fiktif atau nyata— yang diproyeksikan dalam kata. Bukan gumam, bukan ocehan, juga bukan sekadar gagasan yang mengawang- awang.
Mustafa Ismail, penggiat sastra asal Aceh, tinggal di Jakarta.
================
SUMBER: Ruang Baca, Koran Tempo, 25 September 2005 | Judul asli tulisan ini ketika dimuat di Koran Tempo adalah “Mewartakan Wajah Aceh”, saya ubah untuk blog saya menjadi “Mewartakan Luka Aceh”
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNQ==&dokm=MDk=&dokd=MjU=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=VUxT&uniq=MTQx