Mengolah Cerita, Pengantar Buku Dandelion
OLEH : MUSTAFA ISMAIL | @musismail | Pengatar Buku: Dandelion, buku kumpulan karya pelajar Aceh, Amuk Communit, 2007.
Buru-buru Banta memanjat pohon ketapang. Ia naik sampai ke pucuk, di sana ada cabang tiga yang enak diduduki. Sekejap kemudian, ia mencomot teropong yang tadi digantung di pinggangnya, lalu dimain-mainkannya di depan mata. Meneropong laut lepas dari atas batang ketapang pada sore menjelang senja begini memberi keasyikan tersendiri bagi Banta. Ia sedang mencari-cari sesuatu di tengah laut.
Meski sederhana, ide cerita yang dikedepankan Helmi dalam cerpen berjudul Menara di atas cukup menarik. Ia menceritakan seorang anak kecil yang suka memanjat pohon ketapang, lalu ia meneropong ke laut, mencari bapaknya yang hilang di laut, dua adiknya meninggal ditelan gelombang raksasa air laut, sekaligus menikmati pemandangan laut.
Saya jadi ingat masa-masa kecil, membaca cerpen Helmi di atas: saya dan teman-teman suka memanjat pohon. Tapi, yang kami panjat adalah pohon jambu, mangga dan melinjau. Apalagi kalau bukan demi mengambil buahnya. Saya tidak terlalu ingat apakah waktu itu saya dan kawan-kawan pernah memanjat pohon ketapang. Yang jelas, kampung saya, sebuah desa di kecamatan Trienggadeng, memang dekat dengan pantai.
Jika saja Helmi menggambarkan seperti apa pohon ketapang itu, barangkali kita akan bisa membayangkan bagaimana bentuknya. Jika saja Helmi menggambarkan di mana persisnya letak pohon ketapang itu, apakah di bagian samping rumah, depan rumah, di belakang rumah, tentu saja itu akan membuat cerpen ini begitu hidup dan diskriptif. Sayangnya, ia tidak melakukan itu.
Padahal, ketika pelatihan menulis di Saree itu, saya berkali-kali mengatakan bahwa sebuah cerpen yang berhasil apabila cerpen itu mampu menghadirkan sebuah film dalam kepala pembaca. Sebetulnya, Helmi sudah mencoba melakukan itu, tapi ia belum berhasil. Saya percaya, dengan latihan yang terus-menerus, ia akan segera bisa membuat cerpen yang bisa membawa pembaca hanyut seperti menonton film.
Tentu memang bukan itu saja kriteria bagus sebuah cerpen. Lagi-lagi, saya harus mengulang penjelasan saya dalam kelas menulis dalam balutan udara sejuk pegunungan akhir November 2006 lalu itu bahwa cerpen yang baik paling tidak mengandung beberapa hal, antara lain, idenya haruslah baru atau paling tidak jika pun ide klasik tapi tetap ada yang baru dan segar dalam pengembangan ceritanya.
Yang tak kalah penting adalah cara ungkap. Sebuah cerpen enak dibaca jika pengungkapannya mengalir seperti air terjun alias tidak ruwet, sistematis, tokoh-tokohnya jelas dengan karakter yang kuat, hubungan sebab-akibat antar kejadian atau adegan tidak mengambang, penuh dengan ketegangan, dramatik, juga penuh kejutan-kejutan. Jangan seperti film-film atau sinetron Indonesia yang banyak mengangkangi logika dan jalan ceritanya dengan mudah ditebak.
Ringkasnya begini saja: penulis mesti bisa mengikat dan memikat pembaca untuk mengikuti dari awal hingga akhir cerpennya. Itu saja resepnya. Jika tidak bisa mengikat dan memikat pembaca, ya cerpen itu gagal. Tentu saja itu tidak mudah dan membutuhkan ketelatenan sendiri. Perlu latihan secara terus menerus, memperkaya referensi baik dengan membaca karya-karya bermutu, teori-teori sastra, maupun referensi umum.
Beberapa cerpen dalam kumpulan ini sudah berusaha untuk menjadikan diri sebagai cerpen yang memikat, terutama dalam sisi ide. Selain cerpen Menara, juga ada cerpen Penjual Koran (Yussi Ulan Dari), Cowok di Belakang Gang (Yunita), Bocah di Batu Sungai (Sukmayana), dan Pengemis Misterius (Andika Fajri Putra), yang cukup menarik dari sisi ide.
Tapi, lagi-lagi, kita mesti memaklumi, mereka adalah para pemula yang memerlukan proses yang panjang untuk membuat ide menarik menjadi cerita yang memikat. Sebagai karya awal, buat saya, apa yang mereka lahirkan cukup mengejutkan. Cerita yang mereka kedepankan mengundang rasa ingin tahu pembaca dan menyentuh.
Selain itu, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini juga memperlihatkan bahwa para remaja itu cukup peka terhadap persoalan yang terjadi dalam masyarakat: sosial maupun politik. Selain pada sejumlah cerpen di atas yakni Penjual Koran dan Pengemis Misterius yang kuat dengan pesan sosial, juga ada cerpen Pengemis (Sayed Lisman W), Pengemis Tua (Ridho Rizal) dan Berita Malam Lebaran (Yusnaini).
Cerpen tentang pengemis, yang dikisahkan berbeda oleh Andika Fajri Putra, Sayed Lisman W dan Ridho Rizal, tentu adalah potret sosial yang sudah menggejala sejak dulu. Namun, pasca tsunami di Aceh, dalam amatan saya jumlah pengemis makin bertambah. Tentu saja ketiga cerpen ini menjadi sangat kontekstual dengan persoalan di sekarang. Meski ini ide lama, tapi pengarang selalu bisa mengemasnya dengan cerita-cerita baru.
Sedangkan cerpen Berita Malam Lebaran ini menceritakan konflik yang terjadi di Aceh. Pada malam lebaran, seorang ayah mesti “mengungsi” karena ingin menyelamatkan diri dari bahaya yang akan mengancamnya. Sayangnya, Yusnaini tidak menjelaskan bahaya apa yang mengancam. Buat pembaca yang tahu konflik Aceh, akan segera bisa menebak bahaya apa itu. Tapi bagi yang tidak tahu, akan membuat pembaca bertanya-tanya.
Tentu saja ketidakjelasan itu bisa mengurangi nilai sebuah cerita. Ini sebetulnya bagian dari konflik yang sangat terbuka kemungkinan untuk dieksplorasi, didalami dan dikembangkan. Sebagai pembaca yang mengerti konflik Aceh, saya membayangkan bahwa sang ayah itu akan dijemput oleh orang-orang tertentu karena dianggap punya kesalahan tertentu yang terkait dengan pihak-pihak yang berkonflik itu.
Sebetulnya, di situlah kesempatan bagi pengarang untuk mendalami cerita itu: siapa yang bakal menjemputnya, kesalahannya apa, apakah sang ayah itu merasa punya salah, bagaimana reaksi sang ayah mendengar berita itu (tidak sekedar pasrah), dan seterusnya. Pengarang yang baik tidak akan memberi sedikit pun lubang yang bisa membuat jalan cerita menjadi kabur, tidak jelas, bahkan gelap.
Cerita adalah rangkaian peristiwa (adegan). Sebuah peristiwa mestilah jelas kronologi, detail, sebab-akibat, tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu, dari awal hingga akhir. Itu terlepas apakah peristiwa itu nyata atau peristiwa fiktif, atau gabungan keduanya. Sebab, pengarang memang boleh saja memungut cerita dari mana, termasuk dari peristiwa nyata, lalu dikembangkan dan diolah menjadi cerita fiksi.
Terpenting, apa pun yang diungkapkan dalam cerita —- mengutip cerpenis Mohammad Diponegoro dari bukunya “Yuk Nulis Cerpen Yuk” —- harus menyakinkan pembaca bahwa peristiwa itu seperti benar-benar terjadi. Jadi menurut dia, sebenarnya tugas seorang penulis fiksi adalah membuat cerita khayalan menjadi sungguhan.
* * *
Sebenarnya ada 16 karya yang diserahkan panitia kepada saya untuk dipilih, dan “dirapikan”, tentu. Tapi, hanya 13 karya yang “berhasil” saya masukkan dalam kumpulan ini. Sudah pasti, cerpen-cerpen yang masuk dalam kumpulan ini sudah melalui “kegatalan” tangan saya untuk menambahkan, mengurangi, membolak-balik, bahkan merombak cerita aslinya, yang sebagian masih mentah, menjadi karya layak dinikmati.
Sementara karya-karya yang tidak terpilih dikarenakan karya itu tidak mewujud cerita, tapi lebih sebagai reportase suasana belaka atau laporan pandangan mata. Di sana tidak ada tokoh, tidak ada konflik, tidak ada suspen, dan sejumlah elemen cerita lainya. Padahal hal paling utama dari sebuah cerita adalah masalah atau konflik. Itulah yang membuat cerita itu ada dan berlangsung.
Logikanya sederhana saja: jika perjalanan dari rumah ke sekolah lancar-lancar saja, seperti biasa, berarti di situ tidak ada cerita yang bisa ditulis. Tapi seandainya di tengah perjalanan kita menemukan seseorang pengendara sepeda motor sedang memukul sopir labi-labi (angkutan kota), itu baru ada cerita.
Peristiwa itu menimbulkan pertanyaan dalam benak kita: siapa para tokoh itu, bagaimana sosoknya, bagaimana karakternya, mengapa mereka sampai berkelahi, dan seterusnya. Semua itu telah menjadi rangkaian dari sebuah cerita. Tinggal lagi bagaimana kita mengolah cerita itu menjadi menarik dan memikat.
Ide cerita memang bisa datang dari mana saja. Bisa dari perjalanan, dari lingkungan sehari-hari, dari obrolan, film, televisi, koran, majalah, radio, dari lagu, dan seterusnya. Terpenting, sesuatu yang kita tulis mestilah kita kuasai benar bahan-bahannya. Jika kita ingin menulis tentang kehidupan seorang dokter, kita harus paham benar seperti apa dunia kedokteran.
Begitu pula jika kita ingin menulis tentang seorang pengemis, seperti karya tiga pengarang dalam buku ini, kita harus paham benar bagaimana kehidupan mereka. Ini demi memberi gambaran utuh tentang cerita, permasalahan, dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.
Intinya: tulislah apa yang Anda ketahui dan kuasai. Jangan menulis yang tidak Anda kuasai. Jika menulis apa yang tidak kita kuasai, yang lahir adalah cerita yang tidak meyakinkan, dangkal, bisa jadi ada fakta-fakta yang salah dan keliru, tidak seperti yang terjadi dalam dunia sebenarnya.
Dalam fiksi memang pengarang merdeka saja bermain dengan imajinasi. Tapi jika itu sudah menyangkut fakta-fakta fakual, atau kenyataan dari dunia nyata, pengarang tidak bisa sembarangan mengutak-atiknya. Misalnya, jika dalam dunia nyata lampu merah untuk berhenti, kita tidak bisa sembarangan mengatakan lampu merah untuk jalan.
Maka, hal yang sering saya sarankan kepada kawan-kawan penulis yang baru memulai aktivitasnya, jika ingin menulis sesuatu namun tidak menguasai masalah ada dua langkah yang perlu dilakukan: pertama, lakukan riset dan pengamatan terhadap objek tulisan itu. Kedua, jika tidak berhasil mendapatkan bahan yang diinginkan, jangan paksakan.
Terakhir, sekali mulai menulis, janganlah pernah berhenti. Ayo, tulis lagi, tulis lagi, dan tulis lagi.
Depok, 1 Februari 2007
Mustafa Ismail
musismail@yahoo.com