esai

Nafsu Politik

Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail | Sumber: Koran Tempo, Senin, 21 Juli 2014

Saya sempat membayangkan, begitu pemilihan presiden pada 9 Juli lalu lewat, media sosial langsung senyap. Ternyata bayangan saya keliru. Setelah hari H pemilihan presiden, “perang” di media sosial tak berakhir. Masing-masing pendukung pasangan calon tetap begitu semangat mem-posting apa saja, baik yang mendukung calon presidennya, maupun yang menyerang calon lain.

Kita tidak perlu mempersoalkan hiruk-pikuk pilpres yang positif. Anggap saja ini bagian dari kemeriahan sebuah pesta. Namun, yang sangat mengganggu adalah hiruk-pikuk negatif, seperti mencerca pihak lain hingga menebar fitnah dan kebohongan. Ironisnya, sebagian dari mereka yang melakukan hal tersebut sedang menjalankan ibadah puasa. Padahal puasa adalah prosesi untuk mengendalikan diri dari hal-hal negatif.

Puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan diri dalam konteks seluas-luasnya. Termasuk menahan diri dari segala hal-ihwal yang bisa merusak suasana berpuasa itu sendiri. Orang sering menyebut hal tersebut dengan nafsu. Namun nafsu ini kerap dipahami semata-mata nafsu dalam konteks biologis, yakni syahwat. Sesungguhnya, nafsu lebih luas daripada itu.

Jika kita membuka kamus bahasa Indonesia, nafsu berarti (1) keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat, (2) dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, (3) selera; gairah atau keinginan (makan), (4) panas hati; marah; meradang. Merujuk dari pengertian kebahasaan itu, mengendalikan nafsu sesungguhnya mengendalikan diri sendiri dari segala hal, termasuk dari sikap dan perilaku yang tidak terpuji.

Maka, membicarakan orang, bergunjing, mencerca, apalagi menyebar fitnah terhadap orang atau pihak lain—termasuk dalam hiruk-pikuk pemilihan presiden ini—adalah sikap dan perilaku yang seharusnya dilawan. Perlawanan pertama tentulah dari diri sendiri. Kitalah yang menjadi polisi bagi diri sendiri, bukan orang lain. Kesadaran harus tumbuh secara dialektis, bukan dikarbit secara mekanis.

Tentu saja semua itu tidak mudah. Maka, puasa jamak disebut sebagai jihad melawan hawa nafsu. Saking beratnya melawan hawa nafsu itu, Ali bin Abi Thalib, menyebut: “Medan pertama yang harus kamu hadapi adalah nafsumu sendiri. Jika kamu menang atasnya, kamu akan lebih menang terhadap yang lain. Jika kamu kalah dengannya, kamu lebih kalah menghadapi yang lain.”

Perjuangan terberat dalam politik juga menahan diri (nafsu). Meskipun tersedia begitu banyak jalan untuk mendapatkan kekuasaan, tidak semuanya bisa dipilih. Politik bukan aktivitas di ruang hampa. Ia diikat oleh kaidah-kaidah dan aturan. Karena itu, laku politik harus tetap berada dalam koridor etis. Maka berpolitik secara kasar, dengan memproduksi fitnah dan desas-desus, adalah laku politik barbar.

Seharusnya, suasana berpuasa, bisa membantu pegiat politik lebih bisa menahan diri, serta lebih arif dan dewasa dalam memilih dan memilah jalan politik yang ditempuh. Jangan sampai pula puasanya menjadi tidak bermakna dan sia-sia. Sebab, seperti disebutkan dalam sebuah hadis (HR Ath Thabrani), “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan (sesuatu) dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: