Geunteut
MUSTAFA ISMAIL | @musismail
Ketika kecil, di kampung saya di Aceh, saya sering takut terhadap beragam makhluk halus yang seram. Salah satunya adalah geunteut. Makhluk ini digambarkan sebagai sosok yang tinggi besar. Ia suka mengambil seseorang, lalu menempatkannya di sebuah tempat yang sulit kadang dijangkau, misalnya, di tengah perdu bambu dan di atas pohon.
Dikisahkan, orang yang diambil oleh geunteut akan merasa seperti berjalan di sebuah jalan yang bagus sekali, bahkan seperti melayang. Namun, ketika sadar, ia telah berada di suatu tempat. Ada pesan dari orang-orang tua kepada anak-anak kecil: kalau berjalan malam-malam, sering-sering meraba rambut. Karena diyakini, geunteut membawa korbannya dengan memegangnya pada rambut.
Bukan cuma geunteut. Di Aceh banyak sekali makhluk halus yang seram. Ada yang namanya burong, burong tujoh, buno, dan sebagainya. Itu baru di Aceh. Di daerah lain, tentu banyak pula makhluk dalam khazanah horor ini. Ada yang namanya orang bunian, kuyang, dan semat beklat.
Tapi sangat jarang hantu-hantu lokal muncul di layar film. Ada kesan, makhluk halus di Indonesia cuma ada pocong, kuntilanak, dan setan yang wajahnya mengerikan. Sebab, makhluk seram inilah yang kerap tampil dalam film-film Indonesia, sehingga wajah horor di bioskop pun menjadi begitu seragam.
Kreator film Indonesia seperti kekurangan gagasan untuk menampilkan hal-hal baru dalam dunia horor. Bukan cuma dalam soal cerita, tapi juga sosok-sosok menakutkan itu. Karena itu, ketika berhadapan dengan layar bioskop, penonton tidak hanya menemukan sensasi ketakutan, melainkan sesuatu yang baru, unik, dan tidak membosankan.
Seperti disebutkan di atas, hantu-hantu lokal itu bisa menjadi pilihan untuk dieksplorasi satu per satu, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan hantu-hantu itu tak cuma berdiri sebagai sosok tunggal, yang tak jarang diwarnai dengan cerita-cerita bahkan legenda di baliknya. Tentu itu akan menjadi hal baru untuk disuguhkan kepada penonton.
Dengan demikian, wajah horor bioskop Indonesia pun akan lebih beragam. Tentu saja tetap tanpa melupakan orisinalitas cerita, logika, dan sensasi keseraman yang dihadirkan.
===
Tulisan saya ini pernah dimuat di Koran Tempo, Kamis 16 April 2009