esai

Media Sosial

Mustafa Ismail, @musismail | 
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 7 Desember 2013.

Beberapa hari lalu, saya terpaksa “memecat” seorang teman di jejaring sosial Facebook. Sebab, dalam sepekan ini, ia kerap menulis status yang narsisistik sambil menghina-hina orang lain. Ada lagi beberapa kawan di Facebook yang bakal saya remove. Sebab, statusnya sungguh tidak asyik untuk dibaca: mencela-cela orang dan pihak lain, terlepas dari seberapa buruknya orang yang dicela itu.  Ia memang tidak menyebut (mention) nama saya. Namun status dia bersliweran di halaman muka Facebook saya.

Saking jengkelnya pada status begituan, saya sampai menulis status peringatan bakal menghapus kawan yang menulis status tak patut dan tak asyik dilihat.  Sebab, bermedia sosial ada tata krama dan etikanya. Orang bebas menulis apa saja, tapi jangan sampai mengganggu orang lain. Orang bebas menghidupkan musik atau bertengkar di halamannya sendiri, tapi jangan sampai mengganggu tidur tetangga.

Jika sampai mengganggu kenyamanan orang lain, sama artinya Anda telah menebar teror dan bullying. Dalam dunia psikologi, dikenal beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan langsung, kekerasan tak langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Nah, kekerasan tanpa mention di media sosial bisa digolongkan sebagai kekerasan tak langsung.

Peneror tidak langsung meneror seseorang, tapi secara tak langsung orang lain ikut terteror karena merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu bisa disebabkan oleh “status” di media sosial yang tidak sesuai dengan nilai moral, gagasan, ataupun ideologi orang yang merasa terteror itu. Bisa pula apa yang ditulis dan di-posting di media sosial tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Contohnya posting-posting akun anonim atau pseudonim di Twitter dan blog yang menjelek-jelekkan orang atau pihak lain.  Mereka begitu lihai mengurutkan peristiwa dan fakta seolah apa yang mereka sampaikan itu benar. Celakanya, sebagian orang sangat mudah percaya.

Media sosial memang telah membuka spektrum komunikasi yang begitu luas, cepat, dan masif. Dari yang tadinya cuma untuk bersosialisasi (mencari teman dan haha-hihi) kini menjadi ruang untuk berbagi (informasi, pengalaman, gagasan, foto, video, dan seterusnya) hingga menjadi tempat untuk berpromosi serta menyebarkan ideologi. Bahkan, ia menjadi mesin yang mampu menggerakkan penggunanya untuk melakukan  sesuatu.

Namun, persoalannya, sebagian pengguna masih gagap dalam memperlakukan media sosial. Perilaku mereka di dunia nyata—kasar, suka memaki, seronok, bahkan tak senonoh—ikut terbawa-bawa ke media sosial. Mereka lupa bahwa ini dunia yang berbeda: tempat mereka tidak sekadar berteman, tapi “mengiklankan diri” kepada orang lain. Ini adalah tempat bagi seseorang untuk menunjukkan kebaikan-kebaikan, bukan keburukan.

Menulis status tidak penting, semisal menjelek-jelekkan dan memaki orang serta mengumbar narsisisme, justru menurunkan nilai orang tersebut. Sebab, media sosial bukanlah buku harian tempat seseorang menulis perasaan sentimentil, bahkan sumpah serapah kepada orang lain. Ini ruang publik yang bisa membuat orang lain tersakiti dan dipermalukan.

Tapi, kini, apa boleh buat, untuk sementara kita terpaksa menerima media sosial sebagai ruang yang terkadang asyik, tapi pada saat lain begitu menjengkelkan. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: