Kesetiaan dan Kerinduan yang Romantis Doel CP Allisah
Catatan : Mustafa Ismail
=====
Ini tulisan lama yang disertakan sebagai pengantar buku antologi puisi dua bahasa milik penyair Aceh Doel CP Allisah “Nyanyian Miris” (ASA & DKB, 2007).
=====
kesetiaan adalah,
senyum bocah-bocah
tanpa kebanggaan
kesetiaan adalah,
manusia-manusia lapang dada
solider dan toleransi
kesetiaan adalah,
kamu yang di jiwaku
dan kita saling memberi pengertian
makna cinta sebening embun pagi
Sajak berjudul “Kesetiaan” yang ditujukan kepada Baden dan Cut Tiwayla itu sajak paling tua dalam kumpulan ini. Sajak ini bertahun penciptaan 1976-1979. Saya menduga, sajak ini ditulis pertama kali pada 1976, lalu mungkin mengalami perbaikan akhir pada 1979.
Pada saat sajak ini ditulis pertama kali, usia Doel CP Allisah, penyair ini, baru berusia 15 tahun. Doel lahir di Banda Aceh pada 3 Mei 1961. Artinya, Doel memulai perjalanan kreatifnya, setidaknya bisa ditandai dengan sajak paling tua dalam kumpulan ini, pada umur 15 tahun.
Boleh jadi, sajak yang ditulis pada usia 15 itu belum sempurna. Maka, ia pun merevisi ulang sajak itu. Hasilnya seperti yang kita baca di awal tulisan ini. Dan sajak itu, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana, memiliki muatan filosofi yang kental. Ia mengungkap sesuatu, yang boleh jadi belum terpikir bagi remaja seusianya.
Doel menggambarkan kesetiaan dengan perlambangan “senyum bocah-bocah tanpa kebanggaan”, “manusia yang toleran” dan “saling memberi pengertian”. Untuk ukuran sajak remaja 15 tahun, sajak ini cukup dahsyat menyampaikan sesuatu: makna kesetiaan. Sajak ini menunjukkan kekuatan Doel remaja dalam bersyair.
Sajak lain yang diciptakan Doel di kala remajanya adalah “Putroe Phang”. Sajak ini lahir ketika ia berada di Gunongan suatu sore pada 1979. Sederhana saja yang disampaikan: kerinduan melihat wajah putroe phang yang, konon, sungguh cantik. “ada yang tak tersentuh dan tak akan pernah sampai,” begitu katanya. Doel sadar benar bahwa sejarah tidak mungkin diulang, waktu tak mungkin diputar mundur.
Dari sisi ide, sajak ini (Putroe Phang) barangkali sajak ini sederhana. Tapi, sajak ini menang dalam cara pengungkapan. Iramanya cukup ritmis dan pilihan katanya baik. Puisi ini juga makin memperlihatkan kekhasan sosok Doel sebagai penyair. Warna kepenyairan Doel makin jelas: puisi-puisi yang memperlihatkan warna romantik.
Sajak-sajak berikutnya makin mempertegas warna itu. Simaklah sajak “Ketika Sore Kita Menuruni Lereng Seulawah Bersama Sepi yang Menyergap”. “Memegang tanganmu/matahari merah membentuk noktaf silang di barat/sebentar lagi semua kita kuburkan di hati/sesuatu telah memisahkan (kita)/dalam sepi yang menyergap!”
Dari judulnya, bisa diduga, sajak ini lahir karena seseorang. Bisa diduga pula, seseorang itu adalah perempuan. Tapi bukan soal itu yang ingin dieksplorasi di sini. Buat saya, perempuan di sini hanya sebagai pelecut. Terpenting adalah Doel berhasil membikin sajak ini lebih hidup, lebih luas, dari sekedar persoalan hubungan seorang lelaki dengan seorang perempuan.
Ada konflik yang begitu kuat dalam sajak yang ditulis pada 1980/1981 itu. Tengok baris ini: “memegang tanganmu/matahari merah membentuk noktah silang di barat”. Simbol “noktah silang” tentulah bukan pertanda baik. Doel memperlihat sesuatu yang krusial: ada sesuatu yang mesti diakhiri. Ada sesuatu yang mesti diselesaikan. Itu, jelas tergambar, begitu menyakitkan.
Doel berhasil mengajak pembaca untuk bersimpati pada persoalan yang dihadapi penyair ini. Ia mengungkapkan persoalan cinta dengan sangat imajinatif dan personifikatif. Perhatikan baris ini: “tidak, bukan hujan hadir di sini/ketika kampung-kampung tertidur sepi/atau bau jerami terbakar”. Pembaca, secara tidak sadar diajak masuk ke persoalan Doel, ikut mencium harum jerami, membayangkan kampung-kampung tertidur sepi, juga membayangkan derasnya hujan.
Potret kesetiaan, yang diungkapkan dengan rasa rindu, juga dengan irama yang mendayu, bisa ditengok dalam sajak sajak “Nyanyian Malam Lebaran”. “ketika barisan takbir menyeruak sunyi malam/dan tinggalkan aku kembali/
jalan ini jadi semati tugu/membentuk garis silang, merah biru/dan potret kalian/satu-satu masuk dalam panca indra/
menyeretku dalam perih, ah”
Puisi ini ditulis di Medan 1985. Tentu saja tempat dan waktu penciptaan sajak ini menjadi penting dikedepankan. Pertama, soal tempat. Kita langsung bisa memahami bahwa wajar saja Doel begitu rindu pada kampungnya karena ia sedang berada di rantau, jauh dari keluarga. Kedua, waktu penciptaan ini akan menunjukkan perjalanan kreativitas Doel. Kita bisa melihat bagaimana “sosok kepenyairan Doel” pada waktu puisi ini diciptakan.
Soal tempat, sajak ini berhasil membuat pembaca masuk ke dalam sajak itu dan ikut merasakan perasaan yang dialami oleh penyairnya. Sedangkan soal waktu, puisi itu makin menegaskan pilihan Doel untuk membuka ladang estetik yang romantik. Sajak-sajak sesudahnya juga makin memperkuat pilihan itu, bahkan sampai kini.
Selain itu, sajak “Nyanyian Malam Lebaran” itu, memperlihatkan bahwa Doel adalah pembaca intens sajak-sajak Chairil Anwar, yang juga banyak melahirkan sajak-sajak romantik itu. Sehingga, mungkin tanpa sadar, sebuah idiom yang terkenal dalam sajak Chairil melompat ke dalam sajak Doel, yakni “….jadi semati tugu”, untuk menggambarkan begitu “sepi” si aku.
Sajak-sajak Doel, tidak hanya memotret, juga menyikapi sesuatu. Simak, misalnya, sajak “Biarkan Jalan Jadi Rumah”. Sajak yang ditulis di Medan pada 1986 ini semakin menunjukkan kematangan Doel, bukan cuma dalam bersajak, juga dalam menyikapi hidup.
“biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai tamannya
di-kejauhan, ketika subuh basah berembun/jangan ikat hati kami/agar tak terhalang/mengalirkan pengertian”
Sajak ini menegaskan sebuah episode pengembaraan Doel. Ada dua hal penting dalam sajak ini: yakni “jalanan” dan “malam”. Agaknya, dua kata penting ini begitu akrab dengan Doel. Dua-duanya menggambarkan suasana pengembaraan, yang boleh jadi kedua kata itu menjadi ladang persemaian sajak-sajak Doel. Sajak ini ditulis di Medan pada 1986.
Agaknya, pada episode Medan, yakni sajak-sajak yang diciptakan di Medan, dan pasca episode itu, Doel makin meluaskan kosa katanya. Sebelumnya, ia begitu akrab dengan kosa kata dan simbol-simbol alam. Itu bisa dipahami, karena Doel yang dulu sekolah di Saree, pegunungan Seulawah, episode penting dalam proses kreatif Doel.
Tapi dalam episode Medan ini, dan sesudahnya, sajak-sajaknya mulai merambah kosa kata dan simbol-simbol baru, salah satunya “jalanan jadi rumah”. Ada pula kosa kata “rakus” (sajak Dalam Sepi Malam Sibayak), yang sebelumnya tidak ditemukan dalam sajak-sajaknya. Juga “kekuasaanmu yang kubenci” (sajak Jerat XIV), “jaket” (Di Jalan Lau Sidebuk-Debuk), “pasaran luar negeri, blue jean, dagangan” (Landskap Sabang).
Sajak-sajak Doel yang bicara tentang persoalan sosial, sebut misalnya sajak “Teunom” yang ditujukan kepada Rengga dan Hasyim KS, juga begitu mendayu. “Mungkin ini kali yang terakhir kita menyeberangi rakit/yang telah menghubungkan waktu dan harapan bertahun-tahun…” Irama, pilihan kata, juga simbol yang ditampilkan dalam sajak ini begitu pas dan mampu membuat pembaca terhanyut.
Sajak yang ditulis pada 1987 itu menunjukkan kegelisahan luar biasa Doel terhadap kondisi perjalanan pantai barat yang masih dihubungkan rakit. Tapi dia seperti tahu bahwa era rakit akan berakhir. Memang salah satu program Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, yang dimulai pada 1986, adalah membebaskan pantai barat dari rakit.
Tapi terkadang, ada masanya Doel mengalami masa-masa “paceklik” kreativitas. Lihat, misalnya, sajak “Non Lis dalam Sajakku 1″ dan “Teungku Paya Bakong Si Teungku Seupot Mata”. Kedua sajak ini, meski tetap mampu menyampaikan makna, tapi kehadirannya terasa begitu sederhana. Ia hadir tak ubahnya potret, laporan suasana, dan “telanjang”.
Sebetulnya, kondisi begini hal biasa bagi penulis. Ada saat-saatnya memang ia mengalami “mati angin”. Tapi banyak penulis akan mengesampingkan karya-karya yang seperti ini. Itu dilakukan demi memperlihatkan perkembangannya yang terus naik, atau paling tidak, konstan.
Tapi Doel berlaku sebaliknya. Ia tetap menyertakan sajak-sajak begini dalam antologi ini. Tentu kita menghargai sikap Doel ini. Ia tak ingin menutup-nutupi perjalanan kreatif kepenyairannya. Jika dalam perjalanan itu ada grafik kepenyairannya yang menukik, itu akan makin melengkapkan pemetaan perjalanan kreatifnya.
Sebagai sebuah antologi lengkap—- sebagian sajak ini memang pernah masuk dalam antologi puisi Doel sebelumnya yakni “Nyanyian Angin” — sajak-sajak dalam buku ini memang akan berbicara dengan cukup komprehensif terhadap sosok Doel, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Grafik kekuatan sajak Doel yang turun juga bisa dilihat dalam sajak “Transe” (tentu dari kata: Trance). Pilihan kata, juga irama dalam sajak itu, tidak ketat, bahkan sangat sederhana, mirip bahasa sehar-hari. Lihat baris ini: “kesetiaan jadi bisu sendiri/tanpa punya arti sedikitpun/untuk jadi catatan di kemudian hari”.
Pembaca bisa melihat: ada kalanya sajak-sajaknya begitu kuat, ada kalanya grafiknya agak turun sedikit lalu naik lagi. Ada kalanya ia sangat sentimentil, ada kalanya pula ia begitu herorik. Ada kalanya ia gelisah, ada kalanya ia riang-gembira. Ada kalanya ia berbisik, ada kalannya ia berteriak. Ini sebuah gambaran yang utuh.
Tapi, yang pasti, seperti terungkap di atas, arus utama sajak-sajak Doel adalah romantik. Sekeras apa pun ia berteriak, ia tetap memperlihat sosoknya yang romantis. Simak misalnya jeritan Doel dalam sajak “Tangse”. “aku dengar desahmu dalam ramai hujan semalam/karena angin liar menerjang tiap jengkal kekosongan/badai ketika malam murka/sedang kita bagai tak terpisahkan/dalam gema kangen melesat”.
Bait pertama sajak ini cukup jelas memperlihatkan teriakannya terhadap daerah bernama Tangse. Lihat simbol “angin liar” yang bermakna sesuatu yang tak baik, menerjang tiap jengkal kekosongan. Jika kita sedikit punya referensi tentang Aceh, kita akan segera tahu apa yang dimaksudkan: ia sedang memotret konflik menahun yang pernah berlangsung di wilayah itu. Tangse yang dulu asri, sejuk, dengan pegunungan yang hijau, kemudian menjadi tercemar oleh bau kematian.
Doel melanjutkan sajaknya yang ditulis pada 1991 itu, “lalu kita ikrarkan perpisahan, kematian itu/aku tak melihat peta tubuhmu berubah/sejarah atau catatan perjuangan yang mengukir nama perjalanan bangsa/selain sketsa sepi dalam dingin daun-daun/di dinding papan penghuni lugu/(ah, tiada yang berkata-kata)”.
Bait di atas makin mempertegas suasana yang terjadi pada saat Doel menulis sajak ini: buram dan mencekam. Tiada yang berkata-kata. Dan memang begitulah ketika konflik Aceh dulu, apalagi ketika jam malam diberlakukan. Semua orang terbelenggu, tidak hanya fisik, juga kata-kata.
Dalam sejumlah sajaknya, Doel juga menyimpan nada perih. Simak salah satu bait sajak “Di Rotterdam ketika Mimpi”. “di rotterdam, pada tahun ketujuh engkau mengirim sebingkai gambar/dengan jeket kedodoran/dan warna-warna cerah kembang tulip di latar belakang/mengaburkan tatapku dalam airmata.” Simbol “air mata”, jelas saja sebuah keperihan. Padahal ia sedang mengungkapkan kenangan, atau bayangan, yang membahagiakan.
Keperihan dan keresahan luar biasa Doel, tampak dalam sajak “Nyanyian Miris”. Lagi-lagi, sajak ini memotret suasana Aceh pada masa konflik. Lihat waktu penciptaannya: 1994. Doel berkata: “dalam riuh gerimis, engkau pulang/kesenyapan abadi dan rentangan kabut/airmata seribu dewa melelehkan genangan daerah/pada langit terbuka…”
Suasana duka langsung terasa ketika membaca baris-baris pertama sajak ini. Di sana ada kata “air mata” (bermakna luka), “kesenyapan abadi” (yang bermakna kematian), juga genangan darah (potret korban). Semua itu begitu jelas memotret sebuah situasi yang menyedihkan,tragik, dan membelalak mata.
Buat saya, “Nyanyian Miris” ini salah satu sajak terbaik Doel. Simbol-simbolnya kena, irama terjaga, dan diksi dan simbol sangat tepat untuk menggambarkan suasana muram sekaligus “pemberontakan” hati dan pikiran Doel. Sajak ini menjadi akumulasi sikap dan kesaksiannya terhadap konflik menahun yang terjadi di tanah rencong. Teriakannya begitu keras dan tapi sangat lembut didengar.
Membaca sajak yang ditulis pada 1994 ini, bisa diduga, ada seseorang yang pergi yang kemudian memunculkan sajak ini. Tentulah, seseorang yang begitu istimewa, bisa dalam arti punya kedekatan personal (artinya ia kenal baik dengan orang yang pergi itu), bisa dalam arti masyarakat Aceh secara umum (yang ia cintai). Sehingga ratapannya begitu kencang: “melepasmu ke lorong panjang sejarah/hatiku letih, riuh gerimis dan airmata/mengingatkan aku pada jalanan basah/menggigil antara batas ada dan tiada…”
Ada kalanya pula, Doel menjadi sosok yang sangat relegius. Coba simak sajak “Engkau 4″. “apakah yang bisa membatasi cintaku padamu/langit malam bertabur gemintang/ atau ruang maha luas tak bertepi/ dari sisi manapun aku, engkau tetap dalam hati…” Tampaknya, ini ada kaitanya dengan ramadhan, waktu sajak ini ditulis.
Ah, lagi-lagi harus disebutkan bahwa tempat dan waktu penciptaan dalam sajak-sajak Doel begitu penting. Ia tidak cuma catatan kecil di bawah sajak, tapi menjadi tanda tertentu ketika sajak itu ditulis. Mestinya, semua sajak memang tidak bisa menisbikan waktu penciptaan. Apalagi, sajak-sajak yang lahir dalam kondisi tertentu dan oleh penyair yang tinggal di daerah tertentu, semisal daerah konflik semacam Aceh. Tiap tanggal, bulan, dan tahun, adalah penanda terhadap peristiwa apa yang terjadi pada saat itu.
Waktu penciptaan itu pula yang mengantar kita pada pemahaman bahwa sajak “Ingatan 1″ berbicara tentang tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004. Jika pun tanpa catatan persembahan di bawah judul sajak itu (bagi korban gempa/tsunami), dengan melihat tanggal penciptaan (31 Desember 2004), pembaca segera bisa melihat bahwa sajak ini memang bicara tentang kehilangan-kehilangan orang terkasih dan kekuatan serta kerelaan untuk melepaskan mereka yang dijemput Yang Maha Kuasa pada 24 Desember itu.
Tapi, belakangan tampaknya ada titik jenuh yang kini sedang dihadapi Doel. Itu terlihat dalam sajak-sajak terbarunya, semisal sajak “Ingatan 1″ di atas, juga beberapa sajak barunya yang lain. Ia seperti membiarkan saja kata-kata itu mengalir tanpa menyeleksi dan memilah-milah. Sehingga daya dorong atau daya bicara kata-kata itu menjadi tidak seampuh sajak-sajaknya dulu.
Namun yang pasti, dalam perjalanan waktu kreatifnya itu, Doel makin arif dan bijaksana dalam memandang hidup, memaknai kekuasaan dan takdir Nya.
apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian
selain airmata dan doa kami yang tak putus-putus?
hanya doa – hanya doa
(dan kamipun yang hidup) semakin kecut
dengan kuasaNya yang tak terbatas !
Depok, 16 April 2007