esai

Kejutan-Kejutan Kurnia Effendi

Catatan awal: Mustafa Ismail

====
Ini adalah bahan diskusi buku kumpulan cerpen “Kincir Api” karya Kurnia Effendi di Galeri Gudeg Kota Seni, Tangerang, Minggu 10 Desember 2006. Saya tidak sengaja menemukannya ketika mencari-cari file lain.
=====

Sejenak, saya terdiam. Saya mencoba mencari-cari: apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Kurnia Effendi dalam cerpennya Air Mengalir dari Ujung Jemarinya? Sekedar potret kemaraukah: kekeringan merayapi tanah dan orang-orang menyerbu titik-titik air? Ini, semua kita tahu, pastilah pemandangan umum.
Lalu, apa yang tidak umum dalam cerpen itu? Tiba-tiba air mengalir dari ujung jari seorang perempuan hamil, yang sebelumnya, terlambat datang untuk mengantri air di rumah orang kaya yang kebetulan punya air. Ini mengejutkan banyak orang yang mengantri, termasuk penjaga rumah itu yang tampak begitu congkak. Juga mengejutkan pembaca tentunya.
Keajaiban? Entahlah. Yang pasti, kejadian itu memang betul-betul ajaib. Dan keajaiban itu datang kepada orang-orang teraniaya. Cerita ini seperti menegaskan kembali keyakinan klasik: orang sabar disayang Tuhan, kebenaran akan selalu berkilau meskipun dalam lumpur, kebahagiaan akan datang kepada orang-orang teraniaya, dan seterusnya.
Cerita ini menyuguhkan sebuah happy ending yang berbeda. Jika dalam cerita kebanyakan happy ending hadir dengan penggambaran, misalnya, kemenangan si tokoh, kembalinya si anak hilang, bertemunya kembali sepasang kekasih, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, dan sebangsanya.
Tapi di sini, Kurnia menyuguhkan happy ending secara simbolik. Namun, tentu, kita tahu, yang dimaksud pengarang tetaplah happy ending sebagaimana lazimnya, atau seperti saya singgung di atas: kemenangan akan datang kepada orang-orang teraniaya.
Memang, sesuatu yang biasa bisa diungkapkan dengan gaya berbeda. Itu semua tentu untuk mencari kebaruan, juga
kejutan. Sebab, kebaruanlah yang menjadi salah satu unsur penting dari cerita. Rupanya, Kurnia cukup sadar akan hal ini.
Ia tidak membikin ending misalnya tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, karena pastilah itu sangat biasa, tapi air tiba-tiba mengalir dari ujung jemari perempuan itu. Dan ajaib pula, air dari kran tokoh orang kaya tiba-tiba berhenti.
Tapi, sayangnya, kebaruan hanya sebatas itu: bagian terkecil dari cerita. Sementara, sebagian besar cerita disuguhkan dengan sesuatu yang sudah biasa: kerap kita temui sehari-hari, bahkan dalam tayangan televisi: orang-orang mengantri, saling sikut, saling dorong, saling mendahului, dengan penjaga yang galak-galak.
Sebetulnya ada banyak kemungkinan dalam cerpen ini, bukan hanya potret umum dari sebuah musim kemarau. Saya membayangkan, jika yang dieksplorasi adalah sosok perempuan hamil itu barangkali akan lebih dahsyat daya cekamnya kepada pembaca, misalnya digambarkan sosoknya, kehidupannya, ia datang dari mana, dan berbagai unsur dramatik lainnya dari sosok itu terutama terkait kekeringan itu.
Potret umum juga tampak dalam cerpen Seseorang Mirip Nuh. Orang-orang panik menyiapkan upacara penyelamatan terhadap banjir besar yang akan datang. Uniknya, yang paling panik hanya “aku”, dan para penentu kebijakan, sementara banyak kawanku justru bersikap biasa-biasa saja, bahkan ada yang meledek.
Tampaknya, dalam cerpen ini, Kurnia ingin mengatakan kini banyak orang mulai tidak respek dengan ancaman-ancaman besar yang bisa menghancurkan hidup manusia. Yang sibuk hanya sebagian kecil orang, terutama seseorang yang mirip Nuh (oh ya, siapa yang pernah lihat gambar Nuh, bukan ilustrasi yang kerap digambarkan?), yang terlibat dalam berbagai upaya untuk penyelamatan.
Sudah pasti Kurnia bertolak dari kejadian di masa Nuh, saat banjir besar datang. Tapi, anehnya, mengapa kehadiran seseorang mirip Nuh itu tidak menjadi heboh? Saya bisa memahami jika banyak orang tidak reponsif terhadap ancaman-ancaman, tapi ketika ada seseorang yang hadir secara mengejutkan, dalam kenyataan umum, tentulah akan heboh. Apalagi, orang itu mirip Nuh!
Sama seperti kemarau, banjir juga persoalan besar. Kurnia menyajikan cerita itu dalam perspektif yang besar pula: dunia akan tenggelam. Tentu bukan main-main. Tapi, ia tidak menggambarkan meski sekilas bagaimana dunia lain menyiapkan diri menghadapi banjir besar itu, bagaimana respon penduduk dunia, dan seterusnya. Mestinya, dengan persoalan besar semacam itu daya cekamnya juga besar.
* * *
Ada beragam persoalan yang diangkat Kurnia dalam cerpen-cerpennya di buku ini. Dan yang paling menghentak saya adalah cerpen Sang Penari. Sebetulnya cerpen ini menceritakan tentang “hubungan aneh” (perselingkungan) tokoh aku dengan seorang penari, yang tak lain teman isterinya. Isyu selingkuh sendiri sebetulnya hal biasa, tapi dalam cerpen ini Kurnia mampu mengemasnya menjadi tidak biasa.
Bukan saja Kurnia mampu mendiskripkan adegan demi adegan dengan manis, termasuk perihal seks yang digambarkan sangat simbolik namun langsung tergambar di kepala pembaca, ia juga menyuguhkan kejutan. Tiba-tiba, ketika si aku sedang berdua dengan si penari, sang penari lalu menelpon isterinya.
Semula orang mengira, si penari menelpon untuk mengatakan bahwa si aku bersama sang penari, rupanya tidak. Sang penari mengajak istri aku untuk makan malam. Kurnia menyajikan sebuah adegan yang mendebarkan saat itu: aku sampai menahan nafas.
Seperti saya katakan di atas, Kurnia memang sadar betul untuk menyajikan kejutan-kejutan dalam cerita-ceritanya. Kejutan lain, misalnya tampak dalam cerpen Lagu Jauh, seorang anak yang telah bikin janji ketemu dengan ayah (tirinya), tiba-tiba ketika sudah sampai di tempat yang disepakati, tiba-tiba si anak membatalkan pertemuan itu.
Tapi, ada kejutan yang tidak begitu kuat alasannya. Saya menemukan itu dalam cerpen Juru Rias dan Seorang Pesolek, ketika jenazah Alexandro ada di ruang mayat, dan sang ibu yang juru rias jenazah ingin merias anaknya, tiba-tiba di dalam kamar mayat itu sudah ada anaknya yang mengagumi setengah mati sang selebritas itu. Buat saya, kejutan ini agak aneh: bagaimana caranya gadis remaja itu masuk ke ruang itu.
Masalahnya, yang meninggal itu adalah seorang selebritas, anak orang kaya pula, yang sudah pastilah pengamannya akan lebih ketat. Kita bisa lihat bagaimana perilaku orang-orang kaya di negeri ini, juga selebritas, tak lepas dari pengaman pribadi, yang sering kelihatan galak-galak itu, yang tidak akan sembarang membolehkan orang masuk, apalagi ke ruang mayat.
Sebenarnya, untuk menghilangkan tanya pembaca, bisa saja pengarang menjelaskan sedikit bagaimana ia masuk. Bahkan, itu akan menjadi drama tersendiri dalam cerita itu. Di luar soal itu, ide cerpen Juru Rias dan Seorang Pesolek ini cukup menarik. Rasanya belum banyak orang, setidaknya saya belum pernah membaca, ada yang menulis tentang soal-soal seperti ini. * **

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: