Pada Suatu Masa, Cantoi, Kali Code
Sumber: Jurnal Nasional | Minggu, 22 Jan 2012
Mustafa Ismail
PADA SUATU MASA
pada suatu masa, kita pernah bercakap-cakap
tentang hujan yang turun dalam tidurmu
tentang tarian jari-jari Mella di galeri itu
yang mengantarmu ke sebuah masa
tentang cuaca Barcelona di musim dingin
yang membawamu ke sebuah nama
lalu hujan menjadi batu
lidah kita sedingin salju
aku membakar sejumlah mimpi
kau membakar aku
kita pun lahir kembali menjadi gerimis
dalam tidur masing-masing.
pada suatu masa, kita pun bercerita
tentang gerimis yang menjadi abu
Depok, Agutus 2011
PENARI HUJAN
aku penari, katamu,
biarkan aku menari sesukaku
kita tak perlu bersumpah menjadi batu
kau pun melompat,
dari satu senja ke senja yang lain
menari bersama hujan
dan pada suatu pagi,
aku menemukanmu telah menjadi batu
dingin dan beku.
Depok, Agustus 2011
HIKAYAT CANTOI
: soel
hikayat itu telah pekat
sepekat biji-biji padi
dan getah-getah kayu
di pucuk seulawah
katamu:
ya, aku ingat,
kampung kita pernah jadi
lapangan tembak,
tempat orang ramai-ramai berburu perawan
kataku:
memang tidak sebaiknya kita tidur
ketika semua telah senyap
kau harus tetap terjaga
mengawal mimpi mereka
katamu:
aku tetap menjadi bayi
yang menangis di malam buta
untuk sang ibu yang terlelap
agar bumi tak senyap
Padangpanjang, juni 2011
KOTA HUJAN
Katamu, ini kota hujan
aku pun menggigil
sampai pagi jauh
matahari tak jatuh
Padangpanjang, Juni 2011
CODE
Seandainya kita berpisah
memilih jalan sendiri
apa yang akan kau katakan:
“cinta telah benar-benar basi
setelah peluit itu kau tiup
dalam tidurku yang nyenyak”
di tiap simpang, luka begitu perih
kau menjadi sangat renta
meraung dan menyesali senja
kau lalu berkisah:
seseorang buang hajat tiba-tiba
di malam buta
lalu seluruh isi kota tersentak
mencium bau busuk
gang-gang mendadak ramai
apa yang kau katakan jika
cinta telah benar-benar padam,
benar-benar tak terselamatkan:
“maaf, aku harus membuatmu tiada
lalu kita merancang dukuh-dukuh baru
cinta yang lain”
Yogyakarta, Januari 2011
Mustafa Ismail, lahir di Aceh pada 1971, buku puisinya “Tarian Cermin” (2007). Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta, sambil kini menyelesaikan belajar di Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
aku selalu jaga mimpi-mimpi itu. Salam
alhamdulillah adinda, kuflet terus bernafas dan bergerak.