esai

Seni, Lokalitas, dan Tanah Rantau

ADA satu kalimat klasik untuk menggambarkan bagaimana seni bisa beradaptasi begitu mudah dengan lingkungan apa pun: seni mengusung bahasa universal. Seberapa pun gelap seni itu, atau bahasa verbal yang dibawa oleh karya seni itu tidak dipahami oleh publik tempat seni itu dipertunjukkan, karya itu tetap bisa dinikmati. Bagi khalayak, sajak-sajak Afrizal Malna begitu gelap, namun tetap ada sesuatu yang bisa dinikmati.

Afrizal, juga seniman-seniman lain yang menyuguhkan karya seni dengan warna dan langgamnya sendiri, tidak akan kehilangan audiennya, meskipun karya itu disuguhkan di hadapan publik sangat asing sekalipun. Dalam karya itu tetap ditemukan sesuatu yang berbeda. Ungkapan semisal Lagee Cina nonton seurati(seperti orang Cina menonton seudati), sebenarnya lebih pada olok-olok di luar konteks kesenian, ketimbang sebuah gambaran betapa seni terasing dari penikmat di luar komunitas pelaku seni itu sendiri.

Terbukti, seudati begitu sering hadir di forum-forum nasional dan international, dan komunitas luar Aceh itu begitu menikmati suguhan tersebut. Sama halnya dengan karya-karya seni lainnya. Sebut saja koreografer Asnawi Abdullah, yang karya-karya tarinya sangat kental dengan idiom-idiom lokalitas Aceh, juga bisa dinikmati oleh publik di Jakarta. Itu pula yang membuat lagu Rafli, yang jelas-jelas dalam bahasa Aceh, bisa enak didengar oleh kalangan non Aceh.

Sayangnya, sedikit kreator seni yang menyadari betapa lokalitas menjadi pembeda bagi karya. Pembeda itu tidak berhenti pada penilaian sesuatu yang lain, tapi juga sesuatu yang khas , dan sesuatu yang baru . Para pengamat seni, termasuk media massa, selalu bertanya ketika menghadapi sebuah karya seni: apa sih yang baru , apa sih yang khas , atau apa sih yang berbeda . Jika ketiga pertanyaan itu jawabannya negatif , bisa dipastikan karya itu tidak akan mendapatkan apresiasi yang cukup.

Terutama di media massa, yang menempatkan kebaruan sebagai unsur terpentingnya, boleh jadi karya-karya yang tidak menyuguhkan kebaruan dan keunikan tidak akan mendapatkan tempat yang besar. Kalau pun diberi tempat, tentulah karya itu akan dikritik secara tajam. Bahkan, boleh jadi karya semacam itu cuma ditulis dalam berita kecil saja, bukan resensi atau ulasan.

Nilai model pemberitaan (antara berita dan resensi) untuk sebuah karya seni tentu saja berbeda, baik bagi pembaca maupun bagi kreator seni itu sendiri. Kalau berita, apalagi berita kecil, itu lebih sekedar menyampaikan kabar bahwa karya itu dipertunjukkan. Sementara ulasan lebih sebagai apreasiasi kritis terhadap karya itu, bukan sekedar kabar. Ia hadir sebagai ungkapan penghargaan dengan cara yang ideal. Dalam ranah ini, seniman tentu tidak harus menyesuaikan karyanya dengan keinginan media massa. Mereka bisa tetap berada dalam wilayah kreatifnya masing-masing, tanpa terpengaruh oleh siapa pun, baik pengamat maupun media massa. Tapi hal yang perlu digarisbawahi adalah seniman selalu melakukan eksplorasi terhadap gagasan-gagasannya untuk menemukan sesuatu yang baru dan berbeda. Bahkan, gagasan-gagasan itu terus diuji sedemikian rupa, terutama dengan membandingkan karya-karya seniman lain.

Maka, ketika sebuah kelompok teater mementaskan Macbeth karya William Shakespeare misalnya, sutradaranya harus berhasil meyakinkan publik apa yang baru dalam pentas itu. Kalau tidak, sama halnya dengan mengaduk-ngaduk barang lama, mencuci foto dari klise itu-itu juga. Kebaruan itu bisa dalam cara penyampaian, tafsir, unsur-unsur tertentu, dan berbagai elemen lainnnya.

Sebenarnya yang lebih aman adalah menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan begitu, Ataring senimannya bisa lebih menonjol. Jadi tidak hanya mencapai efek kebaruan, tapi sekaligus peneguhan identitas. Apalagi, karya itu disuguhkan di hadapan publik melek seni atau komunitas yang intens melakukan eksplorasi seni. Apa kata dunia — meminjam istilah Nagabonar — jika yang dipentaskan tanpa mengusung gagasan atau elemen kebaruan yang kental.

Sutradara teater seperti Sulaiman Juned, misalnya, tentu akan sangat kesulitan baginya untuk menghadirkan sesuatu yang baru untuk dipentaskan di kampusnya di STSI Padangpanjang, jika ia membawa Macbeth. Sebab drama itu sudah sangat berulang-ulang dipentaskan di sana. Jadi, pilihannya untuk mengangkat lokalitas (Aceh) di pentas-pentasnya di Sumatra Barat, termasuk di STSI Padangpanjang itu, adalah pilihan tepat. Ia bisa menghadirkan sesuatu yang sama sekali baru bagi publik di sana.

Tak heran, Komunitas Kuflet yang didirikan dan dipimpinnya pada 12 Mei 1997 menjadi salah satu kelompok seni yang diperhitungkan. Sejak awal, ia memang sangat konsisten memilih jalur lokalitas itu. Ia seperti mengangkat rumah-rumah Aceh, bahasa, kekayaan tradisi seperti tari dan musik, bahkan sampai pakaian dan sosok-sosok Aceh, ke atas pentas. Terakhir, ia mementaskan Jambo Inong Balee. Ia memang konsisten mengangkat lokalitas Aceh ke atas pentas sejak ia bergiat disana pada menjelang akhir 1990-an.

Itu membuat karya-karyanya mendapatkan apresiasi cukup dari publik, termasuk pengamat dan media massa. Jika kita mengikuti koran-koran penting yang terbit di Sumatra Barat, aktivitas komunitas seni itu begitu jelas tergambar. Sulaiman yang juga penyair asal Aceh dan dosen di STSI itu sadar benar bahwa publik mesti disuguhkan sesuatu yang khas, berbeda, dan baru. Dampak ikutannya tidak cuma berhenti di situ. Ia pelan-pelan ikut mempopulerkan kultur Aceh di tanah rantau itu. Jelas, apa yang dilakukan Sulaiman adalah promosi penting bagi kebudayaan Aceh.

Maka, kita pun bisa menyaksikan penari seudati di atas pentas, lagu-lagu Aceh, ureung inong manyum tika, gubuk khas Aceh (jambo), juga bahasa Aceh. Meski, tentu saja, karena diucapkan oleh pemain-pemain non Aceh, lafalnya menjadi agak unik di telinga penonton asal Aceh. Tapi yang lebih penting, semangat itu menjadi contoh bagaimana lokalitas komunitas tertentu menjadi begitu terasa akrab bagi publik di luar komunitas itu.

Di Jakarta, publik mengenal Agus Nuramal, yang mempopulerkan teater tutur PMTOH. Meski bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, Agus langsung menanjak dan menempati posisi penting di tengah publik kesenian level nasional, bahkan internasional. Sebab, lagi-lagi, yang disuguhkan Agus adalah sesuatu yang khas, unik, berbeda, dan baru bagi publik luar Aceh. Orang Jakarta tidak pernah menonton PMTOH. Tak heran, nama PMTOH pun melekat di belakang nama Agus Nuramal (menjadi Agus PMTOH).

Sastrawan LK Ara juga pernah membawa penyair tradisi dari Gayo, To=et, keliling di Jakarta, dan beroleh apresiasi berlimbah dari seniman-seniman terkemuka dan publik secara umum. Lagi-lagi, karena apa yang ditampilkan oleh To=et adalah sesuatu yang sangat khas dan baru bagi publik di sana. To=et pun kemudian menjadi terkenal dan pertunjukkannya ditulis besar-besar oleh media cetak nasional dan dipuji.

Lebih jauh, lewat karya-karya yang konsisten mengangkat kultur lokal, tidak hanya penting bagi penanda identitas dan kreativitas seniman itu sendiri, juga bisa menjadi perekat silaturrahmni antar anggota komunitas itu di tanah rantau. Dampak itu juga penting untuk membangun kesetiakawanan. Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri, jika kita bisa menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda, mengapa kita masih menyuguhkan karya-karya yang begitu-begitu saja? ***

* Mustafa Ismail, penggiat seni dan pengelola Jurnal Sastra ALTERNATIF

Sumber: Serambi Indonesia, Minggu, 10 Januari 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: